Friday 14 November 2014

Politik Hukum



JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menilai, pemerintah telah menyampaikan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta terkait penyusunan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Hukum Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP). Misalnya, pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin yang mengatakan bahwa KPK sudah dilibatkan dalam penyusunan dua RUU tersebut.
"Diusulkan, tidak perlu panik dan membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran untuk merespons suatu proses yang keliru dan materi draf perundangan yang bertentangan dengan filosofi dan politik yang sudah ditetapkan TAP MPR dan menjadi pegangan politik penegakan hukum selama ini," kata Bambang melalui pesan singkat, Kamis (27/2/2014).
Bambang menilai, penyusunan RUU KUHP-KUHAP oleh pemerintah tidak mengikuti prinsip open goverment atau pemerintahan yang terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat.
"Salah satu syarat untuk itu, maka setiap perubahan adalah pembuatan undang-undang yang menyangkut hidup rakyat banyak harus bersifat terbuka dan mengundang partisipasi publik yang luas," kata Bambang.
Terkait RUU KUHP-KUHAP ini, KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden, pimpinan DPR, dan pimpinan panitia kerja (panja) RUU KUHP dan KUHAP di DPR. Surat tersebut berisi rekomendasi agar pembahasan dua RUU itu dihentikan dan dibahas oleh DPR dan pemerintah periode 2014-2019. Namun, menurut Bambang, sampai saat ini KPK belum menerima surat balasan resmi dari Presiden, DPR, maupun panja.
"De facto, surat itu belum pernah dijawab, kecuali oleh Menteri Hukum dan HAM," kata Bambang.
Bambang berpendapat, terkait RUU KUHP-KUHAP ini, pihaknya telah melakukan tata krama birokrasi. Sebelum menyampaikan penolakan secara terbuka kepada media, Bambang mengatakan, KPK sudah dua kali berdiskusi dengan mengundang Menteri Hukum dan HAM serta wakilnya, Denny Indrayana.
Selain itu, lanjutnya, dalam pembicaraan informal, KPK juga sudah meminta untuk dilibatkan dalam pembahasan di DPR. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban KPK untuk menjelaskan kepada publik melalui media sikap penolakan KPK mengenai pembahasan RUU KUHP-KUHAP ini.
"Bila kepentingan publik yang diwakili media ditanyakan kepada KPK, maka wajib bagi KPK menjelaskan secara jelas dan tuntas seluruh pokok pikiran KPK yang ditujukan untuk kepentingan publik itu," kata Bambang.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto meminta KPK tidak banyak bicara ke media terkait penolakan RUU KUHAP-KUHP. KPK dan lembaga penolak lainnya diminta menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait pasal-pasal yang dianggap melemahkan.
Djoko menegaskan, tidak ada lembaga mana pun, termasuk pemerintah, yang ingin mengebiri kewenangan KPK. RUU usulan pemerintah itu, lanjutnya, sudah disusun sejak 12 tahun lalu, bahkan sebelum KPK berdiri. Penyusunnya pun, katanya, melibatkan para pakar hukum.
Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah pihak yang mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disarankan untuk menyusun Daftar inventarisasi Masalah (DIM) terkait sejumlah pasal yang dinilai dapat melemahkan lembaga antikorupsi itu.

Saran itu keluar dari mulut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto.

"Saya sarankan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ya, ke KPK dan ke pengkritik-pengkritik itu. Kalau memang ada pasal-pasal yang masih tidak pas, itulah gunanya pembahasan di DPR, kenapa tidak KPK dan mereka itu susun Daftar inventarisasi masalah (DIM), jeleknya apa. Jangan megaphone diplomasi ke media-media," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Lebih lanjut, dia menegaskan tidak ada lembaga manapun, termasuk pemerintah, yang ingin mengebiri KPK lewat rancangan undang-undang (RUU) tersebut.

"RUU ini kan sudah disusun 12 tahun lalu, bahkan KPK belum lahir, yang susun pakar-pakar, mari dihormati," ungkapnya.

Maka dari itu, dia menyarankan kepada KPK maupun ahli hukum lainnya untuk duduk bersama dengan DPR membahas RUU tersebut. "RUU gunanya dibahas, bukan langsung diketok," ucapnya.
Sindonews.com - Rencana perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) terus berpolemik. Salah satu pihak yang mengkritisi materi perubahan itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sikap ini sangat disayangkan oleh pakar hukum Chairul Huda. Menurutnya, jika KPK memiliki pemikiran lain mengenai perubahan KUHP dan KUHAP itu sebaiknya disampaikan kepada pemerintah dan DPR.

"Kalau KPK punya pendapat jangan kemudian di lempar di media," ujar Chairul   dalam acara diskusi dengan tema 'Polemik Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP' di ruang rapat Fraksi Hanura, Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/3/2014).

Pada kesempatan itu, dia juga membantah bahwa KPK tidak dilibatkan dalam agenda pembahasan ini. Lanjutnya, dia menyarankan rencana pembahasan perubahan KUHP dan KUHAP ini sebaiknya dilanjutkan.

"KPK itu bagian dari tim. Cuma mungkin, karena orangnya berbeda, kan yang mewakili institusi bukan orang," tukasnya.

DPR didesak selesaikan RUU KUHP & KUHAP

Khresna Guntarto
DPR (Portaltiga/Primair)

Jakarta - DPR RI didesak untuk segera melakukan pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang hingga saat ini masih menjadi wacana belaka. Perspektif pemidanaannya harus menjunjung tinggi HAM dan keadilan, sementara berbagai celah hukum yang bisa menimbulkan pelanggaran hukum lainnya harus dihilangkan.

"Lebih mengintegrasikan kewenangan penyidik, penuntut umum, hakim komisaris, hakim pemasyarakatan dan pensasehat hukum, integrasi administrasi dan informasi," kata Koordinator Center of Detention Studies, Gatot Goei, dalam jumpa persnya, di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Minggu (9/1).

Menurutnya, KUHP yang merupakan warisan kolonial telah gagal mengurangi dan mencegah kejahatan lantaran justru menimbulkan kebijakan kriminalisasi baru yang lahir dari sejumlah UU. Sementara pada KUHAP, kerap menimbulkan masalah, misalnya rekayasa perkara melalui pembutian, lemahnya pengawasan tahanan dan narapidana sebagaimana terjadi dalam kasus Gayus Tambunan.

"Bahkan yang paling baru terkait pertukaran narapidana di Bojonegoro. Kebijakan penegakan hukum di atas dapat diibaratkan tidak ubahnya kerja sebuah mesin yang sudah tua dan berkarat," ungkap dia.

Sementara itu, Anggota Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsam) Wahyu Wagiman, mengatakan bahwa penyebab pembahasan di DPR terhambat karena pemerintah tak juga menunjuk wakilnya untuk mengawasi jalannya pembahasan RUU tersebut.

"Kalau saja Presiden  mau memberikan wakil untuk juru bicara.  Saya pikir  apa yang terjadi terkait carut marut hukum ini akan segera terselesaikan," jelasnya.

Pasalnya, sejak era reformasi bergulir, sudah 4 Menteri Hukum dan HAM menjabat tak kunjung menyelesaikan RUU KUHP dan KUHAP. Keempatnya hanya menjadikan penyelesaiaan RUU ini sebagai janji belaka pada awal ditunjuk sebagai menteri. Oleh sebab itu, diharapkan 2011 ini kedua RUU tersebut bisa mendapat pembahasan.

(new)
sumber: http://www.primaironline.com/berita/hukum/dpr-didesak-selesaikan-ruu-kuhp-kuhap



RUU KUHP
Presiden Lamban, Reformasi Hukum Tertatih

JAKARTA--MICOM: Kelambanan Presiden dalam mengambil sikap terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi salah satu faktor penyebab tertatih-tatihnya proses reformasi hukum di Indonesia. Demikian diungkapkan Koordinator Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM Wahyu
Wagiman, Minggu (9/1).

Wahyu menyontohkan masalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Presiden masih mempermasalahkan pasal-pasal mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kesusilaan dan ideologi seperti marxisme, masih menjadi catatan yang belum diambil penyelesaiannya oleh Presiden," paparnya dalam jumpa pers yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil di Kantor KONTRaS, Jakarta, Minggu (9/1).

Adapun mengenai draf RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata Wahyu, sudah selesai sejak lama. "Proses terhenti ketika ekspose ke Presiden. Presiden belum mau mengeluarkan Surat Perintah Presiden mengenai siapa yang akan menjadi wakil Presiden di DPR dalam pembahasan RUU tersebut," ungkapnya.

"Kalau Presiden mengambil sikap, Menteri Hukum dan HAM yang akan menjadi wakil Presiden (dalam pembahasan di DPR), saya pikir apa yang terjadi sekarang terkait karut-marutnya penegakan hukum, akan terselesaikan," sambung Wahyu.
Menteri Hukum dan HAM sudah berganti beberapa kali, namun RUU KUHP dan KUHAP  belum juga disahkan.
"Dalam lima tahun terakhir, RUU KUHP dan KUHAP selalu menjadi prioritas. Tapi dari sekian menteri, dari Muladi, Yusril, Andi Mattalata, sampai Patrialis Akbar, tidak satu pun yang berani selesaikan RUU KUHP dan KUHAP," tuding Wahyu.

Ia mengatakan ketidakmampuan Presiden mengelola menteri-menterinya mengakibatkan proses reformasi hukum berjalan terseok-seok. "Ketidakmampuan Presiden mengelola menteri-menterinya mengakibatkan proses reformasi hukum sangat tertatih-tatih," cetusnya.
Wahyu khawatir jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu mengkoordinasikan menteri-menterinya yang bertanggung jawab atas reformasi hukum pidana, kasus seperti Gayus Tambunan akan terulang di masa-masa mendatang. (Ide/OL-3)
------------------------------------------------------------
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/09/194229/16/1/DPR-Didesak-Bentuk-Komisi-Khusus

RUU KUHP
DPR Didesak Bentuk Komisi Khusus

JAKARTA--MICOM: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak membentuk suatu komisi  khusus untuk mempercepat pembahasan Rancangan-Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).

Desakan tersebut disampaikan Peneliti Hukum dan HAM ELSAM Wahyudi Djafar dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Jakarta, Minggu (9/1). Upaya untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU KUHP dan KUHAP, menurut Wahyudi, tidak hanya tugas pemerintah, tetapi juga DPR.

Ia mengatakan RUU KUHP telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas), namun tidak pernah diselesaikan.

"Jadi problemnya selain ada di pemerintah juga ada di DPR," kata Wahyudi. "Sudah puluhan tahun direncakanan untuk direvisi tetapi belum pernah ada progres yang menggembirakan," lanjutnya.
Wahyudi menilai perlu dibentuk komisi khusus di DPR yang bertugas membahas RUU KUHP dan KUHAP. Dengan demikian, meski anggota-anggota DPR berganti, proses pembahasan bisa terus berlanjut.
"Saya ingin mengusulkan mekanisme percepatan dengan membuat semacam komisi khusus di DPR yang diberi tugas membahas RUU KUHP ini," ujarnya.
"Dengan diberi kepada komisi khusus ini, proses pembahasan bisa terus dilakukan walaupun periode anggota DPR telah berubah," tutup Wahyudi.

(Ide/OL-3)


http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/01/09/brk,20110109-304845,id.html

Revisi KUHP dan KUHAP Harus Segera Dituntaskan
TEMPO Interaktif, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mendesak pemerintah untuk segera mengajukan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
"Revisi KUHAP sebenarnya sudah dilakukan sejak Agustus 2007," ujar anggota koalisi Wahyudi Jaffar dalam jumpa pers di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Minggu (9/1).
Wahyudi menyatakan, mandeknya revisi KUHAP dan KUHP karena presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mau mengambil sikap. "Presiden sampai saat ini belum menunjuk siapa yang akan menjadi wakil pemerintah saat pembahasan di DPR,"
ujarnya.

Mandeknya revisi kedua undang-undang itersebut, menurut Wahyu, berpotensi untuk dijadikan bahan tawar menawar politik pada pemilu 2014. "Setiap orang yang menjadi Menteri Hukum dan HAM di era reformasi selalu menjanjikan revisi KUHAP dan KUHP sebagai prioritasnya, tapi tidak ada satu pun yang bisa menyelesaikannya," tutur Wahyudi.

Gatot Goei, yang juga anggota koalisi, menyatakan KUHP dan KUHAP sudah tidak lagi memadai untuk digunakan saat ini. Terbukti, banyaknya kriminalisasi perkara, juga tindak kekerasan yang dilakukan aparat dalam proses pidana. "Ini mencerminkan lemahnya jaminan Hak Asasi Manusia di dalam KUHAP," paparnya.

Itu sebabnya KMS mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan pembahasan revisi dua undang-undang tersebut.
Beberapa hal penting yang perlu menjadi catatan dalam revisi kedua undang-undang itu adalah perspektif pemidanaan. "Konsep pemidanaan harus lebih berperspektif HAM dan keadilan," ucapnya.

Sisi lain yang juga penting adalah soal keterbukaan informasi. Selama ini, pihak kepolisian dan juga rumah tahanan cenderung tertutup untuk memberikan informasi tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana.
"Akibatnya, praktek-praktek kekerasan dalam penjara seringkali tak terungkap ke publik," ujarnya.

Ketertutupan akses informasi membuka peluang terjadinya praktek korupsi antara aparat penegak hukum dengan narapidana. "Misalnya terkait pemberian remisi, perlakuan istimewa terhadap Ayin, praktek perjokian, dan juga plesirnya Gayus," kata Gatot.

FEBRYAN.


http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=920

Gayus Berpotensi Dihilangkan
Lolosnya Gayus ke luar tahanan hingga ke luar negeri, menunjukkan dirinya dilindungi oleh kekuatan besar

VHRmedia, Jakarta -Tersangka mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan bisa menjadi sumber informasi untuk mengungkap mafia pajak yang lebih besar. Jika negara tak melindungi Gayus, dia berpotensi dihilangkan.
"Apabila ia mengungkapkan seluas-luasnya, dan dia tidak dilindungi institusi bernama negara, dia berpotensi dihilangkan," kata Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia Palma di Jakarta, Minggu (9/1).
Menurut Alvon, lolosnya Gayus ke luar tahanan hingga ke luar negeri, menunjukkan dirinya dilindungi oleh kekuatan besar. Itu juga mengindikasikan Gayus tidak mendapat perlindungan dari negara. Akibatnya, dia memilih bersandar pada kekuatan besar lain di luar negara.
"Negara seharusnya men-support dia untuk mengungkap. Dia minta perlindungan negara, tapi nyatanya negara kan tidak melindungi. Makanya dia memilih mana yang lebih kuat," kata Alvon.

Menurut peneliti hukum dan hak asasi manusia Elsam Wahyudi Jafar, lolosnya Gayus terjadi karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak lagi memadai untuk diterapkan. KUHAP tidak bisa memaksa institusi yang bertanggungjawab atas penahanan Gayus untuk berkoordinasi.

"Tahanan itu kan tanggung jawab kejaksaan. Ketika Gayus lolos, Kejaksaan bilang tidak tahu. KUHAP tidak mampu memaksa adanya koordinasi antar lembaga," ujar Wahyudi.

Kasus Gayus juga memperlihatkan KUHAP bertumpang-tindih dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban. UU PSK tidak maksimal karena KUHAP tidak memberi celah agar UU itu bisa diterapkan. "KUHAP belum memberi jaminan perlindungan yang mumpuni terhadap saksi dan korban," kata Wahyudi.

Persoalan lain yang terdapat dalam KUHAP, kata Wahyudi, yakni belum adanya perspektif HAM. KUHAP masih menghalalkan penyiksaan tersangka di dalam tahanan. "Proses penyiksaan masih terus-menerus terjadi," kata Wahyudi.
Mau tidak mau, Dewan Perwakilan Rakyat harus mereformasi KUHAP dan KUHP.

Wahyudi meminta DPR membentuk komite tetap yang membahas dua UU warisan Belanda itu meski periode keanggotaan DPR berganti. Sebab, membahas lebih dari 700 pasal yang terdapat dalam KUHAP dan KUHP membutuhkan waktu yang lama.(E3)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=270125

RUU KUHP DAN KUHAP
Pemerintah dan DPR Didesak Lakukan Pembahasan

Senin, 10 Januari 2011
JAKARTA (Suara Karya): Sekumpulan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, mendesak pemerintah dan DPR RI serius dan segera melakukan pembahasan terhadap rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kedua produk hukum tersebut dinilai sebagai penyebab karut-marutnya dunia hukum  belakangan ini.

Aliansi LSM tersebut terdiri dari AJI Jakarta, CDS, ELSAM, ICJR, ICW, IMPARSIAL, ILR, Koalisi untuk Hukum Acara Pidana (KuHAP), KONTRaS, KRHN, LBH Jakarta, LBH Semarang, MAPPI FH UI, PIL-Net dan YLBHI.

Melalui siaran persnya mereka menilai banyaknya peristiwa hukum di Indonesia yang memalukan di awal 2011, mulai dari mudahnya Gayus meninggalkan tahanan untuk bepergian ke luar negeri hingga barter tahanan serta kekerasan yang dilakukan aparat negara, akibat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia masih warisan
Kolonial Belanda.     "Sehingga, kemajuan peradaban manusia, teknologi dan informasi serta perilaku kejahatan yang terjadi saat ini ternyata tidak mampu diantisipasi dengan KUHP dan KUHAP yang ada sekarang," demikian tertuang dalam siaran pers yang ditandatangani peneliti hukum dan HAM, Elsam, Wahyudi Djafar, kemarin.

Karena itu, pilihan pemerintah yang tidak segera mereformasi KUHP, justru telah memunculkan kebijakan kriminalisasi baru yang lahir dari sejumlah undang-undang, yang ancaman hukumannya kadang sukar dicari rasionalisasinya, jauh lebih berat dari ancaman hukuman yang ada di KUHP.

KUHP juga tidak bisa digunakan lagi sebagai undang-undang payung dalam pengaturan pidana, karena telah melahirkan situasi tumpang tindih dan kontradiktif antar-peraturan perundang-undangan yang memberikan ancaman pidana. Akibatnya, pelaku kejahatan, yang umumnya dituduhkan pada mereka yang kecil dan rentan, kerap kali diancam dengan pidana berlapis. Anehnya, pilihan kebijakan ini belum terbukti manjur untuk mencegah, dan mengurangi angka kejahatan.

Demikian pula dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang seringkali memunculkan berbagai macam masalah, antara lain yang paling aktual adalah peristiwa joki narapidana di Bojonegoro. Selain itu, rekayasa penanganan perkara terutama terkait dengan pembuktian, keseimbangan antar-sub sistem peradilan pidana yang lemah, dan tidak jelasnya integrasi administrasi dan sistem informasi serta lemahnya pengawasan pelaksanaan putusan.

KUHAP juga dinilai tidak mampu mengoperasionalkan sejumlah ketentuan pidana materil yang hadir bersamaan dengan munculnya sejumlah peraturan baru. Lemahnya jaminan hak asasi manusia di dalam KUHAP juga berakibat pada masih jamaknya kasus kekerasan yang dilakukan aparat, dalam setiap proses pidana,khususnya mereka pelaku kejahatan yang tidak mendapatkan bantuan hukum.

Tidak adanya jaminan hukum yang jelas bagi saksi dan korban, juga berakibat pada lemahnya posisi saksi dan korban dalam proses pidana. Selain itu, meski telah ada UU Perlindungan Saksi dan Korban, namun operasionalnya menjadi kurang maksimal, akibat KUHAP yang tidak sinergis. (Nefan Kristiono)


http://politikindonesia.com/index.php?k=ekonomi&i=16687-Bahas%20RUU%20KUHAP,%20DPR%20Mesti%20Bentuk%20Komisi%20Khusus

Bahas RUU KUHAP, DPR Mesti Bentuk Komisi Khusus
Politikindonesia - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak agar membentuk komisi khusus. Hal ini untuk mempercepat proses pembahasan dua Rancangan-Undang-Undang (RUU) yang akan diajukan pemerintah dalam waktu dekat.

Dua RUU itu antara lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Desakan tersebut disampaikan Peneliti Hukum dan HAM ELSAM Wahyudi Djafar. Percepatan penyelesaian dua RUU tersebut, tidak hanya tugas pemerintah, tetapi juga DPR.

Kepada pers di Kantor Kontras, Jakarta, Minggu (09/01) Wahyudi mengatakan RUU KUHP telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas), namun tidak pernah diselesaikan. "Jadi problemnya selain ada di pemerintah juga ada di DPR," kata dia.

Dia mengemukakan, KUHP dan KUHAP tersebut sudah puluhan tahun direncanakan untuk direvisi. “Namun sampai sekarang,  belum ada progres yang menggembirakan," lanjutnya. Untuk itulah, sambung Wahyudi, perlu dibentuk komisi khusus di DPR yang bertugas membahas RUU KUHP dan KUHAP. "Saya mengusulkan mekanisme percepatan dengan membuat semacam komisi khusus di DPR yang diberi tugas membahas RUU KUHP ini.”

Dengan model pembahasan yang dilakukan lewat komisi khusus, Wahyudi  meyakini proses pembahasan tidak akan mundur ketika terjadi pergantian anggota DPR.
“Pembahasan bisa terus dilakukan walaupun periode anggota DPR telah berubah.”
(ks/rin/ts)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Pemerintah dan DPR terkesan memaksakan merevisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR. Padahal UU itu merupakan hukum publik yang sangat vital sehingga perlu dikaji secara matang.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai pembahasan RUU KUHAP-KUHP sarat akan kepentingan apabila dibahas secara eksklusif dan tidak bersifat elitis. Hal itu bisa membawa negara ke dunia kegelapan.

Namun, Ketua DPR Marzuki Alie menganggap pernyataan keberatan KPK tersebut egois, jika KPK terus meminta penghentian pembahasan RUU KUHAP-KUHP. Dia menambahkan, kedua RUU itu menyangkut perbaikan hukum di Indonesia, tak hanya terkait korupsi.

"Terlalu picik kalau saya bilang, pandangan itu terlalu sempit. Lihat KUHAP dan KUHP, nggak cuma bicara tindak pidana korupsi. Kan bicaranya sistim besar penegakan hukum di Indonesia. Masa gara-gara KPK langsung kita matikan semua," kata Marzuki di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/2/2014) malam.

Marzuki berujar, kekhawatiran beberapa kalangan termasuk KPK terhadap pembahasan RUU KUHAP-KUHP yang nantinya akan memangkas kewenangan KPK, itu sangatlah keliru. Bahkan menurutnya, pembahasan RUU tersebut akan menguatkan kewenangan KPK.

"Nah di dalam KUHAP-KUHP, bukan hanya bicara pemberantasan korupsi, kan banyak terkait dengan tindak pidana lain. Masa gara-gara itu (keberatan KPK) langsung dihentikan, kan nggak logis," ujar Marzuki.

"Harusnya berfikirnya begini, itu dibahas tetapi ada pasal-pasal yang melemahkan pemberantasan korupsi, itu yang kita dukung untuk dirubah. Jadi yang rasional itu begitu," tandas Marzuki.

Beberapa poin dalam RUU KUHAP-KUHP ditengarai merupakan cara sejumlah pihak untuk melemahkan KPK. Misalnya saja poin mengenai penyitaan harus dilakukan dengan izin pengadilan. Secara substansi, isi RUU KUHAP-KUHP tentang perkara korupsi juga dinilai telah menunjukkan cara pandang DPR dan pemerintah yang tidak lagi memandang korupsi sebagai kejahatan serius.

Sebab di RUU itu korupsi hanya dipandang sebagai kejahatan biasa sehingga penanganannya juga dilakukan seperti kejahatan biasa lainnya.

Karena adanya poin tersebut, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai pembahasan RUU KUHAP-KUHP sarat  kepentingan apabila dibahas secara eksklusif dan tidak bersifat elitis. Hal itu bisa membawa negara ke dunia kegelapan.

"Seluruh masyarakat yang kelak menjadi penerima dampak dari kejahatan korupsi. Kalau begitu, maka selamat datang kegelapan," ujar Bambang beberapa waktu lalu.

Yang ia maksud dengan dunia kegelapan adalah ketika pembahasan RUU KUHAP-KUHP hanya melibatkan pihak stakeholder, tidak melibatkan lembaga terkait, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komisi Kejaksaan.

"Pembuatan Revisi KUHAP dan KUHP itu harus selalu berpihak pada kepentingan rakyat, keadilan, dan kebenaran. Harus dilakukan dengan melibatkan seluas-luasnya kalangan publik," kata dia. (Luq/Sss)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menyatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Hukum Pidana (KUHP) tidak mungkin selesai tahun ini. Sebab substansi RUU itu terlalu berat.

"Beban terlalu berat. Substansi terlalu berat untuk dikebut," kata Trimedya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/3/2014).

Politisi PDIP itu meminta KPK untuk tidak terlalu khawatir soal RUU itu. Menurutnya, dalam RUU KUHAP dan KUHP tidak ada pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu.  "KPK sudah ketakutan. Pelemahan KPK itu nggak ada," ujar Kepala Badan Kehormatan (BK) DPR itu.

Trimedya menyerahkan nasib RUU tersebut kepada pemerintah. Sebab inisiatif pembahasan RUU itu dari pemerintah.

"Nggak perlu heboh. Soal tarik (RUU) kan tergantung pemerintah. Kalau nggak jadi di tahun ini, periode depan dari nol lagi. Semua tergantung pemerintah. Inisiatif kan dia, kita nggak tanggung jawab," pungkas Trimedya.

Beberapa poin dalam RUU KUHAP-KUHP ditengarai merupakan cara sejumlah pihak untuk melemahkan KPK. Misalnya saja poin mengenai penyitaan harus dilakukan dengan izin pengadilan.

Secara substansi, isi RUU KUHAP-KUHP tentang perkara korupsi juga dinilai telah menunjukkan cara pandang DPR dan pemerintah yang tidak lagi menyatakan korupsi sebagai kejahatan serius. Dalam RUU itu korupsi hanya dipandang sebagai kejahatan biasa sehingga penanganannya juga dilakukan seperti kejahatan biasa lainnya.

Karena adanya poin tersebut, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai pembahasan RUU KUHAP-KUHP sarat kepentingan apabila dibahas secara eksklusif dan tidak bersifat elitis. Hal itu bisa membawa negara ke dunia kegelapan.

"Seluruh masyarakat yang kelak menjadi penerima dampak dari kejahatan korupsi. Kalau begitu, maka selamat datang kegelapan," ujar Bambang beberapa waktu lalu.

Yang ia maksud dengan dunia kegelapan adalah ketika pembahasan RUU KUHAP-KUHP hanya melibatkan pihak stakeholder, tidak melibatkan lembaga terkait, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komisi Kejaksaan. (Elin Yunita Kristanti)
(Raden Trimutia Hatta)

Korupsi dalam Bidang Pendidikan
OPINI | 08 November 2013 | 10:05 http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gifDibaca: 324   http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gifKomentar: 4   http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif1
Korupsi telah memasuki berbagai bidang dalam pemerintahan birokrasi, swasta, hukum, politik dan berbagai bidang yang memungkinkan terjadinya tindak pidana korupsi. Korupsi saat ini seperti penyakit tumor yang ganas yang telah menggerogoti tubuh manusia, sehingga, korupsi menjadi ancaman eksistensi dari negara Indonesia.
Dunia pendidikan merupakan salah satu bidang yang memiliki posi penganggaran yang cukup besar dari APBN dan APBD yaitu 20% sebagai amanat dari UUDNRI tahun 1945. Sehingga bidang pendidikan menjadi sebuah kue yang manis yang harus diperebutkan tikus dan semut-semut kecil untuk menikmatai kue yang besar ini.oleh karena itu, dalam bidang pendidikan telah terjadi korupsi yang sistematik dan sistemik. Walaupun korupsi dari tiap-tiap oknum kecil tetapi jika di akumulasi maka akan menjadi nilai yang sangat besar yang merugikan negara.
Kerugian korupsi dalam bidang pendidikan bukan hanya tentang nominal angagran yang dikorup tetapi berdampak langsung terhadap peserta didik karena menyebabkan menurunnya kualitas pendidikan bahkan pelanggaran HAM karena pendidikan merupakan Hak asasi Manusia (warga negara).
Bidang-bidang aktivitas pemerintah yang rawan korupsi adalah
1. Pengadaan publik
2. Perubahan lahan
3. Pengumpulan sumber-sumber pendapatan pemerintah
4. Pengangkatan pejabat pemerintah
5. Pemerintah daerah  (Kesuma et. al 2009:24)
Tindak korupsi yang terjadi dalam bidang pendidikan dapat di anatomi menjadi beberapa aktivtas yang rawan terjadi korupsi yaitu :
1. Pengangkatan jabatan kepala sekolah
2. Pengadaan sarana dan prasarana termasuk (seragam, buku, gedung, peralatan, laboratorium dsb)
3. Penggunaan dana BOS
4. Penerimaan siswa baru
5. Undangan untuk memasuki PTN melalui Undangan
6. Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS
Enam anatomi dari tindak pidana korupsi bidang pendidikan merupakan aktivitas yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Tindak pidana ini terjadi secara sotemik melibatkan beberapa oknum mulai dari oknum guru, oknum kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah bahkan sampai tingkat pusat. Oleh karena itu kita harus memahami anatomi ini sehingga mampu mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam bidang pendidikan, karena hal ini terkait langsung dengan anak-anak kita.
Dalam tulisan ini akan coba dijelaskan mengenai ke-enam anatomi tindak pidana korupsi di bidang pendidikan sebagai berikut :
1. Pengangkatan jabatan kepala sekolah
Pengangakatan kepala sekolah terutama terjadi di sekolah-sekolah negeri (publik), tetapi tidak menurup kemungkinan di sekolah Swasta/ Yayasan. pengisian jabatan kepala sekolah, sudah menjadi rahasia umum dan kebiasaan bahwa untuk menjadi seorang kepala sekolah harus memberikan uang kepada dinas bahkan kepada kepala daerah di daerah tersebut. bahkan jumlah uang disetorkan dari seorang kepala sekolah bahkan tiap tingkatan berbeda, SD sekitar puluhan juta rupiah, SMP dan SMA bahkan mencapai angka ratusan juta rupiah. Bahkan di salah satu kabupaten, kepala sekolah menyetor kepada kepala daerah tiap tahunnya agar tidak di non-jobkan.
Tindak korupsi di dunia pendidikan dengan pengisian jabatan ini pastinya akan berdamak sistemik karena sang calon kepala sekolah  yang sudah menyetor kepada dinas dan kepala sekolah akan mencari uang pengganti modal yang ia setor dengan mengambil dari anggaran sekolah. Karena nilai tunjangan fungsional yang ia terima tidak akan mampu menutupi modal yang ia keluarkan. Selanjutnya, hal ini akan berdampak pada kualitas sekolah karena karena tidak maksimalnya program-program yang dilaksanakan, bahkan menjadi program fiktif. Pengadaan sarana dan prasarana termasuk (seragam, buku, gedung, peralatan, laboratorium dsb)
Kepala sebagai pusat pengambil kebijakan disekolah harusnya bersifat otonom, tetapi karena dampak dari setoran-setoran, suap-menyuap menjadikan kepala sekolah tidak otonom dengan program-program yang akan dilakukan. Selain itu kepala sekolah yang harusnya menjadi teladan bagi peserta didik yang ada disekolah, berubah menjad monster penghisap darah yang mengorbankan kepentingan generasi penerus untuk kepentingan pribadinya.
Tindak korupsi dalam pengisian jabatan kepala sekolah akan menghasilkan kepala sekolah yang memiliki kebusukan jiwa, berjiwa korup dan berkualitas rendah. Sehingga secara langsung akan berdampak pada kualitas dari proses  pendidikan yang dilaksanakan. Penulis teringat dengan sebuah hadis yang menggambarkan keruskan bila suatu jabatan dipegang oleh orang yang tidak ahli atau tidak cakap :
“Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Kemudian dinyatakan: “bagaimana maksud amanah disia-siakan itu? Rasul menjawab: “Jika suatu perkara (amanat/ pekerjaan) diserahkan pada orang yang tidak ahli (profesional), maka tunggulah saat kehancuran.” (HR. Bukhari)
Sekolah akan menjadi tempat yang kering akan nilai-nilai religiusitas ketika jabatan kepala sekolah diisi oleh orang-orang yang berjiwa korup. Pendidikan Anti Korupsi akan kering dengan keteladanan ketika di sekolah sudah terjadi korupsi. Hasilnya Pendidikan Anti Korupsi akan menjadi seperti benih yang tumbuh ditanah kering, gersang dan tandus. Pendidikan Anti Korupsi akan kehilangan keteladanan sebagai air dari Pendidikan Anti Korupsi. Pendidikan Anti Korupsi bukan hanya mengisi anak-anak dengan kognitif tetapi juga tmbuhnya sikap kesadaran dari semua warga sekolah tentang kesadaran sikap anti korupsi.
Tindak pidana korupsi dalam pengsian jabatan sudah digolongkan dengan penyuapan. Semua pihak yang terlibat akan dapat dipidanakan tetapi memang tidak akan ditangani KPK karena biasanya tindak pidana dengan nominal yang kecil karena KPK hanya menindak tindak Pidana Korupsi diatas 1 Milyar (pasal 11 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberanntasan Tindak Pidana Korupsi).Tetapi bila diakumulasi dari seluruh orang-orang yang terlibat maka akan menghasilkan nilai yang sangat besar. Padahal angka kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum lainnya untuk menangani kasus korupsi sangat rendah, sehingga korupsi dalam pengisian jabatan kepala sekolah ini jarang terungkap dan menyeret pihak-pihak terkait, dari kepala sekolah, dinas sampai kepala daerah.
Dalam Undang-Undang Tipikor (UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur persoalan penyuapan ini (gratifikasi ) pada pasal 12 B yang berbunyi
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Harus ada terobosan dalam penegakan hukum gratifikasi untuk pengisian jabaatan kepala sekolah sebagai wujud dari semangat jiwa anti korupsi dalam bidang pendidikan. Harapannya dengan terungkapnya tindak korupsi dalam pengisian jabatan tersebut maka dapat menjadi terobosan terbaru bahwa tindak pindana korupsi sekecil apapun dapat di pidana kan sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, efektifitas dari penegak hukum selain KPK yaitu Polisi dan Jaksa sangat dipertanyakan oleh publik untuk mengungkapkan. Ataupun Kurangnya laporan dari masyarakat terhadap tindak korupsi dalam pengisian jabatan kepala sekolah ini.
Penulis yakin ketika ada satu saja tindak pidana koruspi dalam pengisian jabatan ini di tindak sesua dengan hukum yang berlaku pasti akan menggerat baik biirokrasi bahkan kepala daerah. Oleh karena itu, sangat diharapkan keberanian dan pembuktian diri dari aparat penegak hukum selain KPK yaitu Polisi dan Jaksa serta peran serta masyarakat dalam melaporkan tindak pindana kourupsi dalam pengisian jabatan Kepala Sekolah. LSM (sebagai wujud dari masyarakat yang aktif) harus menjadi LSM yang terus bergerak dan tidak menjai LSM yang gampang disuap untuk tutup mulut.
2. Penggunaan dana BOS, Anggaran sekolah dan sejenisnya
Penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Anggaran Sekolah dan Sejenisnya  merupakan salah satu dampak dari praktik korupi dalam pengisian jabatan kepala sekolah, sebagaimana poin pertama.  Dana BOS, Anggaran Sekolah, bantium dam sejenisnya, menjadi lahan basah untuk suburnya tindak pidana korupsi. Sehingga dengan berbagai cara dan upaya agar anggaran bisa masuk kedalam kantong pribadi sang pemegang jabatan.
Penyalahgunaan ini dapat berupa pembuatan program-program fiktif atau pembuatan program haya sekedar formalistik untuk menghabiskan anggaran tanpa dilandasi atas kebutuhan nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut. walaupun, nominalnya tidak besar tetapi seharunys ada upaya penindakan yang tegas dan pengungkapan dari penyalahgunaan anggaran dalam bidanng pendidikan. Dalam melakukan hal ini pasti melibatkan sistem yang ada disekolah, mulai dari tata usaha, komite, dan kepala sekolah sendiri bahkan ada sepertiuang tutup mulut bagi LSM dan Wartawan, belum lagi jatah dari atasan kepala sekolah dari tingkat KCD sampai kepala dinas serta kepala daerah.
Salah satu kesulitan mengungkapkan Tipikor di bidang pendidikan ialah kecilnya nominal dan kondisi penegak hukum yang kra bekerja efektif dalam mengungkap tipikor di sekolah. Mengani hal ini sebenarya sudah diatur dalam UU Tipikor  bagi penyalahgunaan anggaran  dalam Pasal 8  (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Sekali lagi  permasalahan, karakter dari pemberian amanah penganggaran, pengawasan dari penggunaan anggaran. Wala korupsi dalam sekolah tidak sebesar di pusat, tetap saja perbatan melanggar hukum dan harus  ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
3. Penerimaan siswa baru
Penerimaan siswa baru mjuga merupakan lahan basah dari tindak korupsi dalam bidang pendidikan. Walau nominalnya kecil, tetapi tetap tindak pidana korupsi karena akan sangat merugikan masyarakat umum. Memasuki Sekolah Negeri merupakan hak seluruh warga negara muda, selain mendapatkan subsidu yang besar dari pemerintah, kualitas sekolah cukup terjaga. Minat yang tinggi ini menjadi lahan basah terjadinya tindak pidana korupsi di sekolah (bidang pendidikan).
Jabatan publik  yang dimiliki kepala sekolah, Wakil kepala sekolah dan guru dan disalahgunakan dalam penerimaan siswa baru ini. Oleh karena itu harus dibangun sistem dan pengawasan untuk dapat mengecilkan tindak pidana korupsi dalam penerimaan siswa. Bisa saja terjadi orang tua calon siswa baru memberikan gratifikasi untuk mempengaruhi keputusan dalam penerimaan siswa baru. Pasal 5 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
4. Undangan untuk memasuki PTN
Sama seperti penerimaan siswa baru, undangan untuk memasuki PTN dapat  menjadi kesempatan penyalahgunaan jabatan publik dari Kepala Sekolah, wakil kepala sekolah dan guru.  Dengan menyembunyikan atau memberikan informasi secara tidak luas kepada seluruh siswa untuk mendapatkan hak yang sama bersaing dalam jalur undangan dari PTN.
Orang tua guru dapat saja memberikan gratifikasi untuk mempengaruhi keputusan sekolah tentang siswa yang akan menjadi peserta dalam jalur undangan ini. Sekali dengan nominal yang kecil seakan perbuatan ini menjadi perbuatan biasa saja. Padahal sebagai pejabat publik tidakboleh menerima gratifikasi dari masyarakat terutama terkait degan jabatannya menetukan sesuatu hal.
Perbuatan seperti ini sebenarya menimbulkan lingkungan yang tidak sehat bagi berkembangna sikap atni korupsi dari peserta didik. Karena dari proses ini ada indikasi telda yang buruk dari proses ini. Walau hal yang kecil tapi snagat berdampak terhadap budaya sekolah. Apalagi ketika saat ini sekolah ingin menjadi sekolah yang anti kourpsi.
5. Pengangkatan guru menjadi CPNS
Pengangkatan guru menjadi CPNS merupakan rahasia umum, hal ini terjadi dari seleksi umum CPNS dan Seleksi dari honorer menjadi CPNS. Kedua-duanya memiliki peluang yang sama untuk menjadi lahan yang subur terjadinya tindak pindana korupsi dengan menyelahgunakan jabatan publik yang mereka pegang.
Dalam pengangkatan CPNS dari jalur umum, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada oknum-oknum pegawai negeri di pemerintahan daerah, BKD yang memanfaatkan jabatan mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan berjanji bisa memberikan kelulusan bagi seorang peserta seleksi asalkan menyiapkan uang dengan nominal bahkan sampai ratusan juta. Hal ini bagaimanapun merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan publik yang ada pada dirinya. Selain itu, dapat menjadi tindak pdaiana penyuapan dan kedua belah pihak akan kena hukuman baik yang meyuap dan yang disuap.
Selain itu ada pula, penyalahgunaan jabatan publik dengan menipu peserta seleksi CPNS, seperti broker, jadi sang pejabat bermain untung-untungan walau sebenarnya dia tidak memiliki akses untuk meluluskan peserta tersebut. Jadi pejabat korup tersebut menerima dari peserta tes CPNS sejumlah uang dengan janji dapat meluluskan peserta tersebut.
Permasalahannya lagi adalah terkadang tersangka penyuap dan yang disuap slit diungkap karena terjadi rahasia diantara mereka berdua, dan ketika keduanya berbicara  maka kedua belahpihak dapat dipidana. Penulis dapat menyimpulkan sebab sulitnya mengungkap praktik suap dalam pengangkatan CPNS ini, karena para pelaku tidak ingin dirnya bermasalah dengan hukum.
6. Pungutan Liar
Pungli memang seperti panu dalam kulit manusia, penyakit kecil tetapi sulit dihilangkan. Di sekolah yang korup akan menjadikan pungutan liar ini menjadi salah satu sumber mendapatkan anggaran untuk dapat diselewengkan. Banyak dalih dalam pungutan liar ini, mulai dari pengambilan ijazah, raport, pembuatan surat, sumbangan ke sekolah dan sebagainya perbuatan-perbuatan yang terus berkembang untuk mendapatkan uang.
Pungutan liar ini bisa saja salah satu efek dari pengengkatan kepala sekolah dengan tarif sebagaimana poin pertama, sehingga kepala sekolah beserta jajaranya mengada-ada soal kebuthan dana, padahal sudah ada anggaran dari pemerintah untuk operasional
Kesimpulan
1. Tindak korupsi yang terjadi dalam bidang pendidikan dapat di anatomi menjadi beberapa aktivtas yang rawan terjadi korupsi yaitu :
1.Pengangkatan jabatan kepala sekolah
2.Pengadaan sarana dan prasarana termasuk (seragam, buku, gedung, peralatan, laboratorium dsb)
3.Penggunaan dana BOS
4.Penerimaan siswa baru
5.Undangan untuk memasuki PTN melalui Undangan
6.Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS
Daftar Bacaan
Kesuma, Dharma., Darmawan, Cecep dan Permana, Johar (2009). Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi. Bandung: Pustaka Aulia Press
Rahardjo, Stjipto (2009). Hukum dan Perilaku : Hidup baik adalah dasar hukum yang baik. Jakarta:Kompas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Republik Indonesia  No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Politik Hukum Pidana Yang Tersesat
Persoalan hukum pidana materiil dan formal terus bermunculan. Politik tambal sulam regulasi bidang pidana justru tak menyelesaikan masalah. Diperparah oleh kebiasaan DPR dan Pemerintah membuat pidana baru.


Kegelisahan para ahli hukum pidana terus menumpuk. Dalam berbagai forum, mereka mengungkapkan rasa khawatir atas perkembangan tak terkendali perumusan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP. Tidak ada jumlah pasti berapa jumlah rumusan pidana dalam perundang-undangan nasional, katakanlah selama sepuluh tahun terakhir. Yang pasti nyaris setiap undang-undang yang dibuat DPR dan Pemerintah, mencantumkan norma pidana. Termasuk dalam peraturan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi.

Kalau saja rumusan hukum pidana tersebut benar-benar didasari pertimbangan matang dan harmonisasi yang baik. Sebagian justru terkesan melanggengkan kekuasaan. Rumusan pidana lebih mengutamakan kepentingan elit politik, ketimbang mengedepankan hakikat keadilan. Gara-gara pertarungan elit politik lebih mengemuka dalam perumusan norma, banyak pasal pidana yang saling bertentangan.

Tidak mengherankan jika Prof Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin, menyebut politik hukum pidana nasional masih berkarakter ortodoks. Pada karakter politik yang demikian, kata Aswanto, “hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa”.

Kecenderungan makin tidak terkendalinya perumusan pidana membuat Komisi Hukum Nasional (KHN) galau. Kajian yang dilakukan KHN terhadap perundang-undangan bidang ekonomi sejalan dengan pandangan Aswanto. Fajrul Falakh, komisioner KHN, mengatakan ada variasi ketentuan pidana yang potensial membuat hukum nasional makin sengkarut. Ada yang menganut prinsip ultimum remedium, ada pula yang premium remedium. Malah kadang-kadang perumusan pidananya terkesan dipaksakan dengan mengabaikan keadilan. Sehingga pasal pidana itu tak pernah bisa diimplementasikan. “Ancaman pidana jangan hanya menakut-nakuti,” kata Fajrul.

Kebiasaan merumuskan pidana dalam setiap undang-undang tanpa menyesuaikan dengan asas-asas pidana umum bisa berbuntut panjang. Ada saja warga yang potensial dikriminalisasi. Misalnya, warga yang tinggal turun temurun di kawasan yang kemudian dijadikan perkebunan terancam pidana karena melanggar UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Pasal 47 Undang-undang ini mengkriminalisasi siapapun yang mengganggu usaha perkebunan. “Apa yang disebut mengganggu usaha perkebunan itu tidak jelas,” kata Edi Sutrisno, juru kampanye Sawit Watch, lembaga advokasi masyarakat korban pembukaan perkebunan sawit.

Lantaran ketidakjelasan rumusan itulah, pada September lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan berlakunya Pasal 47  dan Pasal 21 UU Perkebunan tadi. Dan, ini bukan satu-satunya rumusan pidana yang dibatalkan.

Sebagian ancaman pidana bagi dokter dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 75 ayat (1), pasal 76 dan pasal 79 Undang-undang tersebut memuat ancaman pidana penjara kepada dokter yang melanggar syarat administratif, yaitu Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR). Bagaimana mungkin kelalaian tindakan administrasi dihukum dengan pidana penjara?

Pasal yang sangat menghebohkan dan menimbulkan perdebatan panjang adalah Pasal 31 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal ini merupakan ancaman bagi dosen-dosen yang bekerja di LBH kampus dan paralegal yang mengadvokasi masyarakat. Pasal ini menghalangi mereka menjalankan pemberian jasa hukum. Lagi-lagi, Mahkamah Konstitusi menjadi penyelamat bagi kelompok yang terancam pidana.

Kesalahan demi kesalahan berpangkal pada proses legislasi. Berarti pula ada problem dalam politik hukum pidana nasional. Sebab, DPR dan pemerintahlah yang paling punya otoritas menentukan politik hukum pidana nasional.

Didasari kegalauan terhadap politik hukum pidana nasional itulah, medio November lalu KHN mengundang puluhan pakar hukum ke Jakarta. Selama dua hari, para pakar membahas politik hukum pidana dari berbagai aspek. Bisa jadi, kegalauan itu pula yang mendorong Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) menggelar seminar nasional tentang politik hukum pidana pada pekan kedua Desember 2011 ini.

Nasib RUU KUHP
Salah satu yang terus mendapat sorotan adalah RUU KUHP. Puluhan tahun RUU ini digagas, disusun, dan disempurnakan. Berkali-kali pula ganti tim dan ganti Menteri Hukum dan HAM, proses pembahasan di Senayan tak kunjung berlangsung. Ada dilema yang harus dihadapi. Di satu sisi, hukum pidana  di luar KUHP bergerak liar tak menentu, bahkan sesekali tersesat dari asas. Namun di sisi lain, pembuatan KUHP baru tak kunjung rampung.

RUU KUHP sebenarnya terus masuk program legislasi nasional alias prolegnas. Statusnya sama dengan RUU KUHP, RUU Rahasia Negara, dan RUU Pemberantasan Tipikor: RUU yang secara teknis sudah pernah disampaikan ke Presiden untuk mendapatkan amanat, tetapi dikembalikan ke instansi pemrakarsa. Pemerintah mengusulkan agar RUU KUHP masuk prioritas yang dibahas.

Sebuah kabar menggembirakan muncul. Dalam rapat Pemerintah dengan Badan Legislasi DPR, sejumlah anggota Dewan menagih komitmen Pemerintah untuk segera menyerahkan naskah RUU KUHP dan membahasnya bersama-sama. Anggota Baleg yang bertugas di Komisi Hukum DPR menyatakan sudah tak sabar ingin segera membahasnya. Sebagian politisi berharap pembahasan kedua wet yang menggambarkan politik hukum pidana itu selesai di era Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin.

Tetapi, Amir tampaknya berpikir pramatis. “Itu tugas besar. Jangan muluk-muluk harus diselesaikan dalam dua kali masa sidang. Yang penting kita mulai terlebih dahulu,” pinta Menteri asal Partai Demokrat itu.

Amir mungkin benar. Jauh lebih penting memulai membahas ketimbang memperdebatkan bagaimana caranya menyelesaikan RUU KUHP, apakah dua kali masa sidang atau lebih. Perdebatan pemerintah dan kalangan politisi selama ini lebih bertumpu pada cara membahasnya. Tata Tertib DPR memuat aturan sebuah RUU hanya bisa dibahas dua kali masa sidang, dengan kemungkinan perpanjangan satu kali masa sidang. Kalau tidak kelar juga, maka pembahasan harus dimulai dari nol lagi.

Menteri sebelumnya, Patrialis Akbar pun pernah berjanji akan menyelesaikan pembahasan RUU KUHP per September 2011. Alih-alih selesai dibahas, dimulai pun belum. Selalu muncul kekhawatiran pembahasan akan terganjal tata tertib DPR. Maklum RUU KUHP memuat tidak kurang dari 742 pasal. Draft terakhir yang dibahas Pemerintah bersama sejumlah pemangku kepentingan pada era Patrialis (April 2011) mencapai 303 halaman.

Salah satu yang membuat banyaknya pasal RUU KUHP adalah upaya tim penyusun menampung aturan pidana baru, termasuk yang dimuat dalam konvensi internasional. Beberapa aturan lama dikembangkan seperti tindak pidana informasi rahasia.

Tim perumus sendiri terus berusaha menghimpun dan menampung asas-asas hukum baru yang tercantum di luar KUHP. Ketua Tim Perumus RUU KUHP, Prof Andi Hamzah, pernah mengungkapkan tiga pijakan yang dipakai untuk memasukkan atau tidak suatu klausul pidana ke dalam KUHP baru. 

Pertama, perbuatan atau pelakunya bersifat khusus. Misalnya, Undang-Undang Perpajakan yang sasarannya hanya wajib pajak. Kedua, perbuatan tersebut bersifat temporer. Misalnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Indonesia membutuhkan undang-undang khusus karena di sini banyak terjadi tindak pidana sejenis. Di Belanda, kata Andi Hamzah, undang-undang sejenis tidak ada. Ketiga, hukum acaranya berbeda. Masalah lamanya penahanan dan sistem pembuktian dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membawa konsekwensi harus diatur di luar KUHP.

RUU KUHP memang tak jelas kapan dibahas. Ia masih terus tercatat dalam daftar tunggu. Duh, nasibmu RUU KUHP!

\
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas khawatir jumlah golongan putih (golput), atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum nantinya akan meningkat jika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melanjutkan pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di masa tugas DPR periode 2009-2014 yang singkat ini. Menurut Busyro, pembahasan dua RUU yang terkesan dipaksakan itu dikhawatirkan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada anggota Dewan dan instansi Pemerintah.

"Jika tetap diteruskan di saat anggota DPR tidak mungkin serius dan fokus, itu Pemerintah dan DPR menabuh gendang penipuan rakyat. Saya yakin jumlah golput akan meledak," kata Busyro melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Sabtu (22/2/2014).

Selain itu, menurut Busyro, kualitas RUU KUHP dan RUU KUHAP patut diragukan jika dibahas DPR dalam tenggang waktu yang singkat ini. Saat ini, menurutnya, rata-rata anggota DPR cenderung tengah berkonsentrasi mempersiapkan pemilu legislatif.

"Apakah mereka yakin dengan kualitas pembahasan sekarang, di saat mereka (DPR), 80 persennya memikirkan nasib hidupnya di DPR? Yang pasti jika Presiden dan DPR, jujur, sejak awal tidak main di lorong gelap. Bukan zamannya lagi mengulangi rezim orde baru yang main tipu politik, rakyat sudah semakin melek politik," katanya.

Busyro juga mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berkaitan dengan draf revisi KUHP dan KUHAP tersebut. KPK menilai, sejumlah poin dalam revisi dua undang-undang tersebut berpotensi melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut Busyro, Presiden tidak peka terhadap fenomena korupsi yang berkembang masif di Indonesia. Korupsi, menurut Busyro, terjadi di semua lini, mulai dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga di tingkat legislatif.

"Tidakkah Presiden sudah paham, sudah terjadi letusan korupsi di Kemenag, Kementan, SKK Migas, Kemenpora, puluhan anggota DPR, pusat, daerah, pemprov, pemda, Korlantas, sektor pajak, elite-elite parpol. Bukankah itu jauh lebih dahsyat dari abu Kelud dan Sinabung yang sudah dahsyat juga? Untuk apa Presiden kunjungi korban Sinabung dan Kelud jika letusan abu korupsi telah mematikan jutaan rakyat pelan-pelan, malah tidak peka," tuturnya.

Dia juga merasa miris atas sikap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang selama ini tidak mempertimbangkan masukan KPK atas revisi RUU KUHP dan KUHAP tersebut. Busyro mempertanyakan mengapa baru sekarang pemerintah meminta masukan dari KPK terkait hal ini.

Mantan Ketua Komisi Yudisial ini juga mengatakan, KPK jelas menolak RUU KUHP dan KUHAP dibahas di DPR. KPK telah mengirimkan masukan secara tertulis melalui surat kepada Presiden dan DPR terkait dua RUU ini.

Permasalahan korupsi merupakan bagian dari persoalan politik hukum. Sebab melalui politik hukum, korupsi diharapkan bisa diberantas. Politik hukum sendiri secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (Legal Policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang dan penegakan hukum itu. Lebih lanjut Andi Hamzah mengemukakan pengertian formal politik hukum hanya mencakup satu tahap saja yaitu menuangkan kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk produk hukum atau disebut “legislative drafting”, sedangkan dalam pengertian materiil politik hukum mencakup  legislative drafting,  legal executing, dan  legal review[3].
Tindak pdana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime) yang merusak dan mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa. pelbagai peraturan perundang-undangan yaitu UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 diyakini tidak lagi mampu dan efektif untuk diberlakukan untuk memberantas korupsi. Namun praktik korupsi masih terus berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya. Terkait dengan pemberantasan korupsi, Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia hancur karena korupsi, korupsi subur karena peradilan korup, dan dunia peradilan sulit dibersihkan tanpa cara luar biasa. Bagaimana tidak, sekarang ini banyak aparat penegak hukum di daerah-daerah telah menjadikan instruksi memburu koruptor sebagai ATM atau alat penarik uang baru yang efektif. Banyak aparat penegak hukum yang kemudian memeras para pejabat di daerah dengan cara mengancam akan diproses hukum karena dugaan korupsi[4]. Lebih lanjut ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kasus korupsi di Indonesia ini adalah:
1.      Meluasnya praktek korupsi adalah karena mengabaikan adanya konflik kepentingan. Tidak ada pemisahan yang tegas anatara lembaga eksekutif dan yudiatif lebih-lebih dalam arti penunjukkan pejabat yudikatif. Dalam arti tertentu prerogatif presiden dalam penunjukkan jaksa adalah akumulasi kekuasan dan yang memiliki implikasi konflik kepentingan;
2.      Konsentrasi kekuasaan dan tidak efektifnya control. Konsentrasi kekuasaan ini sangat kuat pada tingkat puncak hirarki kekuasaan;
3.      Pengambilan keputusan yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat yangberwenang. Yang sebenarnya terjadi banyak keputusan melalui prosedur negosiasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan pihak-pihak yang terkait dengan bidang sosial-akonomi; dan
4.      Kebutuhan partai-partai politik untuk mendanai pemilu.
Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali

Konfigurasi Politik Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Lahirnya berbagai undang-undang yang mengatur pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi ini dpengaruhi oleh kondisi politik saat masing-masing undang-undang itu lahir. Sebagaimana yang telah diugkapkan bahwa konfigurasi politik sangat mempengaruhi lahirnya produk hukum. Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik.
Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsif dan yang koservatif. Sementara itu, untuk membangun tertib tata hukum dan meminimalisasikan pengaruh politik “judicial review” sebenarnya dapat dijadikan alat kontrol yang baik. Otonomi hukum di Indonesia cenderung lemah terutama jika berhadapan dengan subsistem politik. Struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik yang ditandai dengan keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi berbagai bidang hukum tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung semakin lemah. Ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan fungsi hukum tersebut[5].
Dalam realitasnya hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada dalam posisi yang lemah. Selain itu, hukum adalah perwujudan dari kebijakan publik yang dipengaruhi oleh isu-isu politik, dan kondisi perubahan politik itu sangat mempengaruhi perbuatan kebijakan public dan hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.[6]
Terkait dengan hubungan antara konfigurasi politik dengan pemberantasan korupsi, maka dapat dicari mengenai karakter pemerintahan yang terjadi pada periode tersebut. Banyaknya pejabat yang ditangkap dengan tuduhan praktek korupsi, sekalipun juga tidak sedikit aparat penegak hukum yang terlibat dengan praktek yang menempatkan Indonesia dalam jajaran salah satu Negara terkorup di dunia ini.
Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada tidaknya dukungan politik penguasa. Dukungan politik dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan, yang kesemua itu bermuara pada ruang, keadaan, dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi untuk bekerja lebih efektif. Disisi lain adanya dukungan politik penguasa dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memberantas kourpsi.
Oleh karenanya menempatkan posisi politik dalam program pemberantasan korupsi berarti melihat perilaku korupsi sebagai musuh bersama karena dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan sudah membahayakan kehidupan negara. Sistem politik yang dijalankan sangat mempengaruhi dilakukannya penanggulangan korupsi, sebab korupsi bukan sekedar gejala hukum melainkan merupakan bagian dari sistem politik, karena itu tidak mungkin melepaskan usaha pemberantasan korupsi dari penataan sistem politik yang berkaitan dengan politik hukum.

JAKARTA, KOMPAS.com — Kepolisian Republik Indonesia, Mahkamah Agung, Badan Narkotika Nasional, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan keberatan terhadap ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketentuan RUU KUHAP dinilai dapat mengurangi atau melemahkan kekuasaan aparat penegak hukum untuk menangkap koruptor, termasuk pelaku kejahatan narkotika, dan terorisme sebagai kejahatan luar biasa.

Ketentuan RUU KUHAP juga dapat membuat hukuman bagi terdakwa perkara kejahatan korupsi, narkotika, dan terorisme sebagai kejahatan luar biasa menjadi berkurang.

Hal itu diungkapkan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Gayus Lumbuun, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Anang Iskandar, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman di Jakarta, Kamis (27/2/2014).

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan secara tegas menyatakan, apabila pembahasan RUU KUHAP dan KUHP tetap diteruskan, pemerintah dinilai mengingkari komitmen dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan lain.

Gayus Lumbuun mengungkapkan, ketentuan dalam RUU KUHAP yang dapat memberatkan hakim adalah adanya ketentuan bahwa hakim tidak boleh menambah hukuman di tingkat kasasi. ”Ini menjadi masalah besar,” katanya.

Ia mencontohkan, jika seorang terdakwa perkara korupsi dituntut dengan dakwaan alternatif dan subsider, tugas hakim adalah mempertimbangkan aspek hukum. Jika memang terbukti ada pasal-pasal yang dilanggar terdakwa dan hukuman perlu ditambah, bagaimana hakim dapat memutus jika ketentuan dalam RUU KUHAP seperti itu tetap ada.

Sementara itu, M Yusuf mengkhawatirkan muatan RUU KUHAP yang mengharuskan penyadapan melalui penetapan hakim. Jika penyadapan oleh KPK, misalnya, harus melalui penetapan hakim, menurut Yusuf, informasi terkait penyadapan itu dikhawatirkan dapat bocor. ”Kewenangan atau kekuasaan untuk menangkap koruptor makin kecil,” katanya.

Anang selaku Kepala BNN juga mengungkapkan, dalam konvensi internasional tentang narkotika, proses penyelidikan berupa pengawasan terhadap proses penyerahan narkotika (control delivery) dan pembelian narkotika secara tertutup (undercover buy) diakui.

Oleh karena itu, Anang mengingatkan, jangan sampai ada ketentuan yang dapat menghilangkan proses penyelidikan yang diatur dalam UU Narkotika, termasuk proses penyelidikan yang diakui konvensi internasional. ”Penyelidikan merupakan bagian penting dari penyidikan,” katanya.

Jenderal (Pol) Sutarman berpandangan, ketentuan mengenai hakim pemeriksa pendahuluan dalam RUU KUHAP juga akan sangat menyulitkan penyidik Polri di lapangan.

Dia mencontohkan, jika polisi menangkap tersangka di sebuah desa terpencil atau di sebuah pulau kecil yang sulit dijangkau, polisi diharuskan meminta penetapan penahanan tersangka kepada hakim pemeriksa pendahuluan yang bertempat di ibu kota kabupaten atau kota. Dengan kondisi geografis di Indonesia seperti ini, sulit menerapkan ketentuan mengenai hakim pemeriksa pendahuluan.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suhardi Alius juga mengingatkan, dalam pengungkapan kejahatan narkotika, terorisme, dan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, proses penyelidikan dan penyidikan merupakan satu kesatuan proses hukum yang sulit dipisahkan. ”Penangkapan tersangka kasus terorisme, narkotika, dan korupsi itu melalui proses penyelidikan yang panjang. Tidak bisa ujug-ujug disidik begitu,” kata Suhardi.

Ia mencontohkan, dalam pengungkapan kasus terorisme, penyelidikan atau proses surveillance biasanya dilakukan berbulan-bulan untuk dapat menangkap tersangka. Selain itu, masa penahanan terhadap tersangka terorisme pun lebih lama untuk kepentingan proses penyidikan.

Parpol hampir seragam

Sikap partai-partai politik terhadap persoalan ini umumnya masih ingin melanjutkan pembahasan RUU Parpol. Mereka tidak ingin RUU ini ditarik oleh pemerintah.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad, misalnya, mengatakan, Partai Golkar mendukung pembahasan lebih lanjut dari RUU KUHAP dan RUU KUHP.

Fadel pun mengaku telah meminta Ketua DPP Golkar Bidang Hukum dan HAM Muladi agar memberikan perhatian terhadap masukan dari KPK. Muladi juga merupakan Ketua Tim Perumus RUU KUHP. ”Pada prinsipnya, Golkar juga akan mendengar suara rakyat,” kata Fadel.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Al Muzzammil Yusuf berpendapat, RUU KUHAP dan RUU KUHP juga tidak hanya mengatur soal pemberantasan korupsi. ”Jadi, jangan direduksi hanya soal korupsi atau KPK saja,” tutur dia.

Apabila pembahasan dibatalkan, rakyat harus kembali menunggu relatif lama untuk memiliki KUHAP dan KUHP baru yang sesuai dengan budaya dan perkembangan zaman. Sebab, jika pembahasan tak selesai di akhir masa jabatan DPR, proses penyusunan, pengajuan, dan pembahasan harus diulang dari awal.

Partai Kebangkitan Bangsa juga menginginkan agar DPR terus melanjutkan pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP sampai akhir masa kerjanya, Oktober 2014. Namun, pembahasannya diharapkan tetap mempertahankan kewenangan KPK.

”RUU ini sudah lama dikaji sejak bertahun-tahun lalu sehingga sudah sepatutnya kita lanjutkan pembahasannya,” kata Ketua Fraksi PKB di DPR Marwan Jafar.

Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR Ahmad Muzani memastikan bahwa fraksinya tidak akan melakukan upaya pelemahan terhadap KPK. Alasannya, saat ini, kebutuhan bangsa untuk mencegah dan menanggulangi korupsi sangat tinggi.

Oleh karena itu, Fraksi Gerindra menolak isi dalam RUU KUHP dan KUHAP yang mengandung perubahan untuk memperlemah KPK atau fungsi KPK. ”KPK masih perlu diberikan kewenangan lebih, walau tidak tetap,” katanya.

Sementara itu, Partai Nasdem memiliki pandangan berbeda. Ketua Bidang Hukum Partai Nasdem Taufik Basari menegaskan, persoalan utama pembahasan revisi KUHAP dan KUHP adalah tidak tepat waktunya. Menurut dia, penundaan pembahasan oleh pemerintah dan DPR merupakan salah satu solusi yang baik. Dia mengingatkan, revisi KUHAP dan KUHP harus menjadi ukuran bagi tegaknya negara hukum. (FER/ONG/RYO/NTA/IAM/EDN)

JAKARTA, KOMPAS.com — Pihak paling dirugikan oleh draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, KUHAP, sebenarnya adalah Mahkamah Agung. Kewenangan MA sebagai judex juris untuk meninjau penerapan hukum dalam putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama dicabut.
Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun mengungkapkan, MA juga dilarang untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari pengadilan di bawahnya (judex facti). ”Kalau dakwaannya tunggal, oke-oke saja. Namun, bagaimana kalau dakwaannya bersifat subsidaritas atau alternatif? Apa kita tidak boleh memilih dakwaan kedua atau ketiga? Kalau dakwaan subsider yang lebih benar, apa tetap tidak boleh?” kata Ketua Ikatan Hakim Indonesia Cabang MA tersebut.
Menurut Gayus, pasal yang mengatur dua hal tersebut sangat mengganggu dan merugikan kepentingan penegakan hukum. KUHAP sebenarnya mengatur tentang putusan bebas yang tidak boleh dikasasi. Namun, setahun setelah pemberlakuan KUHAP atau pada 1983, Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan yang memperbolehkan putusan bebas untuk dikasasi. Hal ini dilakukan demi kepentingan hukum dan kebenaran. ”Dengan keadaan sekarang, apa bisa PN dipercaya untuk membebaskan orang,” ujar Gayus.
Ia menegaskan, kerugian yang diderita MA lebih besar dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keberatan KPK sebenarnya bisa dijawab dengan mempertahankan ketentuan lama atau mencantumkan pasal peralihan tentang UU yang bersifat lex specialis. Pasal 63 Ayat (2) KUHP memberi jaminan bahwa UU yang bersifat khusus harus didahulukan. UU KPK dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan lex specialis.
Terkait pembahasan rancangan KUHP dan KUHAP, Kontras meminta DPR dan pemerintah menghentikannya. Alasannya, kedua rancangan itu malah meniadakan sifat khas dari penanganan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. ”Ini persoalan serius, banyak yang bentrok dengan UU lain,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam jumpa pers bersama Kepala Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik Putri Kanesia, Minggu (2/3). Putri mengatakan, daripada tak maksimal, pembahasan lebih baik ditunda sampai dengan DPR periode berikutnya.
Haris mengatakan, Rancangan KUHP dan KUHAP malah meniadakan kekhususan penanganan pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan dalam UU No 26/2000. Dalam rancangan KUHP dan KUHAP baru, itu hanya dianggap sebagai pidana biasa.
Secara terpisah, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mendukung penundaan pembahasan KUHP dan KUHAP. ”Sangat arif dan bijaksana sekiranya pemerintah dan DPR menunda pembahasan revisi KUHP dan KUHAP. Sebaiknya pada era 2009-2014 ini dilakukan dengar pendapat dari semua pemangku kepentingan saja,” tutur Teras. (ANA/EDN/DKA)
KOMPAS.com - KETENTUAN tindak pidana korupsi sebagai ”kejahatan luar biasa” sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayangnya, beberapa ketentuan korupsi juga diakomodasi atau diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi, dari Pasal 688 sampai Pasal 702. Itu berarti ada 15 pasal korupsi dari 766 pasal dalam RUU KUHP.
Dengan diakomodasinya ketentuan korupsi dalam RUU KUHP, apakah UU No 20/2001 masih memiliki sifat khusus (lex specialis)? Atau, sebaliknya, dengan diakomodasinya ketentuan korupsi dalam RUU KUHP, UU No 20/2001 sebenarnya tidak memiliki ”kekhususan” lagi dan hanya ”menunggu waktu” untuk ”dipreteli”, dicabut, atau dihapus. Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—sebagai institusi terdepan pemberantasan korupsi—bukan lembaga permanen dalam sistem peradilan pidana, melainkan hanya lembaga ad hoc.
Dalam ketentuan peralihan RUU KUHP, yaitu Pasal 757, diatur bahwa pada saat UU ini mulai berlaku, terhadap undang-undang di luar UU ini diberikan masa transisi paling lama tiga tahun untuk dilakukan penyesuaian dengan UU ini (huruf a). Selain itu, diatur juga bahwa setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a berakhir, maka ketentuan pidana di luar UU ini dengan sendirinya bagian dari UU ini (huruf b).
Dengan ketentuan seperti itu, jika RUU KUHP disahkan menjadi UU, maka UU No 20/2001 termasuk kemungkinan UU No 30/2002 tentang KPK harus disesuaikan atau direvisi. Sesuai Pasal 757 huruf (b), UU No 20/2001 pun akan menjadi bagian dari KUHP. Itu juga dapat diartikan bahwa KUHP menjadi ”payung hukum” ketentuan tindak pidana korupsi.
Meskipun demikian, ketentuan peralihan RUU KUHAP juga menjamin bahwa UU No 20/2001 tetap berlaku. Dalam Pasal 761 RUU KUHP disebutkan, pada saat UU ini mulai berlaku, semua ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang di luar UU ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang materinya tidak diatur dalam UU ini.
Kejahatan luar biasa
Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril dalam sebuah diskusi menilai, masuknya ketentuan korupsi dalam RUU KUHP menunjukkan korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa, tetapi dianggap sebagai tindak pidana umum. ”Mengapa harus ada 15 pasal di KUHP dan tidak dikeluarkan,” katanya.
Padahal, sejak 1970-an, sudah disadari bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga perlu diatur dengan undang-undang khusus. Oleh karena itu, MPR juga mengeluarkan ketetapan terkait pemberantasan korupsi pada 1999. Dalam era Reformasi, dibentuk produk undang-undang khusus, yaitu pemberantasan korupsi dan UU KPK. ”Sekarang, ketentuan korupsi dimasukkan lagi ke dalam RUU KUHP dan diatur dengan cara yang biasa,” katanya.
Jika ketentuan korupsi dimasukkan dalam KUHP, hal itu memang dapat mengundang banyak pertanyaan. Mengapa? Dimasukkannya ketentuan korupsi dalam KUHP dapat saja menjadi pembenaran untuk memangkas atau menghapus UU No 20/2001 dan UU No 30/2002 dengan alasan ketentuan korupsi sudah diakomodasi dalam KUHP nanti. Apalagi, KPK merupakan lembaga ad hoc atau bersifat sementara. Itu artinya, suatu waktu, cepat atau lambat, KPK bisa dibubarkan.
Bisa dicabut
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menilai masuknya norma korupsi dalam RUU KUHP memang penting. Dengan demikian, ketentuan terkait korupsi, seperti penyuapan, tetap ada dalam KUHP sebagai payung hukum. Ia mengingatkan, bagaimana pun UU tentang KPK, termasuk UU Pemberantasan Korupsi, dapat dicabut suatu waktu. ”Lebih mudah mencabut UU daripada (mencabut) KUHP,” katanya.
Apakah upaya memasukkan ketentuan korupsi dalam KUHP sebagai ”payung hukum” merupakan satu langkah untuk mengecilkan peran KPK dan upaya pemberantasan korupsi secara bertahap?
Atau, ketentuan korupsi dalam KUHP memang dimaksudkan untuk membuat kodifikasi sistem hukum nasional yang lebih terintegrasi, tanpa upaya memangkas atau menghapus kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi dengan merevisi UU No 30/2002 dan UU No 20/2001.
Pertanyaan itu tentu tidak mudah dijawab, terlebih menyaksikan peran KPK selama ini. Bayangkan saja, hampir semua kelompok masyarakat, terutama sampai tingkat elite, tak lepas dari bidikan KPK. Anggota DPR, menteri, pejabat birokrasi, pengusaha sudah banyak yang diadili dan dikerangkeng oleh KPK.
Dengan sepak terjang KPK selama ini, memang tidak sedikit yang ”alergi” terhadap keberadaan KPK. Kemungkinan adanya ”penumpang gelap” atau pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk kepentingan koruptor, dalam pembahasan RUU KUHP sangat terbuka.... (Ferry Santoso)

Politik Hukum

No comments:

Post a Comment