Friday 14 November 2014

Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf



HUKUM PIDANA
PENGHAPUSAN DAN PENGHILANGAN PERBUATAN PIDANA
(Peniadaan Pidana Pasal 44 – 52 KUHP)



Terdapat keadaan-keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana, kehilangan sifat tindak pidana, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Pembahasan ini dalam KUHP diatur dalam title III dari buku I KUHP, yaitu pasal 44 – 51. akan tetapi dalam praktek hal ini tidak mudah, banyak kesulitan dalam mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP ini.
Dalam teori hokum pidana alas an-alasan yang menghapuskan pidana ini dibedakan menjadi 3 :
1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tertera dalam pasal 49 (1), 50, 51 (1).
2. Alasan Pemaaf : alasan yang mengahpuskan kesalahan terdakwa, tetap melawan hokum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tapi dia tidak dipidana, karena tak ada kesalahan. Tercantum dalam pasal 49 (2), 51 (2).
3. Alasan penghapus penuntutan : ini adalah peran otoritas dari pemerintah, pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan demi kepentingan umum. Contoh : pasal 53 KUHP, kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan suatu kejahatan.

Fait D’Excuse (Memaafkan Pelaku)
Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang itu berdasar bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya piker seorang pelaku.
Istilah tidak dapat dipertanggungjawabkan (niet kan worden toe gerekend) tidak dapat disamakan dengan “tidak ada kesalahan berupa sengaja atau culpa”. Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebutr dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
Akan tetapi kenyataannya adalah bahwa seorang yang gila melakukan perbuatan yang sangat mengerikan sehingga dia pantas mendapat hukuman, lebih-lebih apabila pelaku kejahatan pura-pura menjadi orang gila. Bagaimana dengan orang yang mabuk? Orang mabuk dapat lepas dari hukuman. Namun dapat juga terkena hukuman, dilihat dari kadar mabuknya dan keadaannya.
Pasal 44 ayat 2 KUHP, apabila hakim memutuskan bahwa pelaku berdasar keadaan daya berpikir tersebut tidak dikenakan hukuman, maka hakim dapat menentukan penempatan si pelaku dalam rumah sakit jiwa selama tenggang waktu percobaan, yang tidak melebihi satu tahun. Hal ini bukan merupakan hukuman akan tetapi berupa pemeliharaan.

Penentuan Orang yang Belum Dewasa
Pasal-pasal 45, 46 dan 47 KUHP memuat peraturan khusus untuk orang belum dewasa sebagai berikut :
Pasal 45 : dalam penuntutan di muka hakim pidana dari seorang yang belum dewasa, tentang suatu perbuatan yang dilakukan sebelum orang itu mencapai usia 16 tahun, maka pengadilan dapat :
a. Memerintahkan, bahwa si bersalah akan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau pemelihara, tanpa menjatuhkan hukuman pidana.
b. Apabila perbuatannya masuk golongan “kejahatan” atau salah satu dari “pelanggaran-pelanggaran” yang termuat dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540. dan lagi dilakukan sebelum 2 tahun setelah penghukuman orang itu karena salah satu dari pelanggaran-pelanggaran tersebut atau karena suatu kejahatan, memerintahkan, bahwa si terdakwa diserahkan di bawah kekuasaan pemerintah, tanpa menjatuhkan suatu hukuman pidana.
c. Menjatuhkan suatu hukuman pidana.
Pasal 46 :
1. Apabila pengadilan memerintahkan agar si terdakwa diserahkan kekuasaan pemerintah, maka terdakwa dapat dimasukkan ke lembaga pemerintah dan oleh pemerintah dididik seperlunya. Atau dapat diserahkan kepada seorang penduduk Indonesia atau suatu yayasan atau lembaga social sampai si terdakwa mencapai umur usia 18 tahun.
2. Ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan ayat 1 ini akan dimuat dalam suatu Undang-undang.
Pasal 47 :
1. apabila terdakwa dijatuhi hukuman oleh pengadilan, mak maksimum hukumannya dikurangi sepertiga.
2. Apabila terdakwa dihukum perihal suatu kejahatan, yang dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup, maka maksimum hukumannya menjadi hukuman penjara selama 15 tahun.
3. tidak boleh dijatuhkan hukuman-hukuman tambahan dari pasal 10 di bawah huruf b, nomor 1 dan 3.

Hal Memaksa (Overmacht)
Pasal 48 : “tidaklah dihukum seorang yang melakukan perbuatan, yang didorong hal memaksa”.
Jadi apabila seseorang melakukan tindak kejahatan dalam keadaan terpaksa, maka dia tidak dihukum. Paksaan ini adakalanya bersifat fisik (vis absoluta) dan ada yang bersifat psikis (Vis Compulsiva). Yang dimaksud dalam pasal 48 KUHP adalah paksaan yang bersifat psikis, bukan fisik.
Vis compulsive terbagi menjadi 2 macam :
a. Daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge zin)
b. Keadaan darurat (noodtoestand), antara lain : orang terjepit antara dua kepentingan, orang terjepit antara kepentingan & kewajiban.
c. Ada konflik antara dua kewajiban.
Contoh : seorang A dengan menodong menggunakan pistol menyuruh B untuk mengambil barang milik si C atau untuk memukul C.
Maka berdasarkan pasal 48, mereka tidak dikenakan hukuman pidana. Akan tetapi, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu tetap melanggar hokum. Hanya para pelaku dapat dimaafkan (fait d’execuse).

Keperluan Membela Diri (Noodweer)
Pasal 49 ayat 1 : “Tidakalah seorang yang melakukan suatu perbuatan, yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar hokum (wederrechtlijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikklijk) atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend)”.
Missal : A menyerang B dengan menggunakan tongkat untuk memukul B, kemudian B mengambil suatu tongkat pula, sehingga A kewalahan dengan pukulan si B. B mengambil tongkat karena B tidak sempat lari atau dalam keadaan yang sangat mendesak. Dengan alas an membela diri inilah seseorang tidak mendapat hukuman.
Terpaksa dalam melakukan pembelaan ada 3 pengertian :
a. Harus ada serangan atau ancaman serangan
b. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu dan harus masuk akal.
c. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan.
Adapaun kepentingan-kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah :
a. diri/badan orang.
b. Kehormatan dan kesusilaan
c. Harta benda orang.

Melampaui Batas Membela Diri (Noodweer-Exces)
Pasal 49 ayat 2 KUHP : “tidaklah kena hukuman pidana suatu pelampauan batas keperluan membela diri apabila ini akibat langsung dari gerak perasaan, yang disebabkan oleh serangan lawan”.
Pelampauan ini terjadi apabila :
1. Serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan.
2. Tidak ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan kepentingan lawan yang diserang kembali.
Dalam hal ini terdakwa hanya dapat dihindarkan dari pidana apabila hakim menerima aksesnya yaitu “langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat”. Hal ini sangat berhubungan dengan perasaan seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa.
Contoh yang sering terjadi di masyarakat adalah pengeroyokan seorang pencuri oleh masyarakat/orang banyak dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 2 KUHP. Maka orang-orang yang mengeroyok tidak dapat dihukum. Akan tetapi si pencuri juga berhak membela diri dari pengeroyokan tersebut, apabila dalam membela dirinya pencuri tersebut melukai salah seorang pengeroyok maka si pencuri tidak dapat dihukum atas tuduhan penganiyayaan pasal 351 KUHP.


Pelaksanaan Peraturan Hukum Perundang-undangan
Pasal 50 KUHP menentukan : tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hokum perundang-undangan.
Maka sbetulnya pasal 50 ini tidak perlu. Kenapa pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, karena untuk menghilangkan keragu-raguan. Contoh : seorang polisi tidak melakukan tindak-tindak pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan orang lain, apabila dalam menyelidiki suatu perkara pidana menangkap sorang tersangka.

Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)
Pasal 51 ayat 1 KUHP, menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu.
Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan tidak dikenakan hukuman pidana juga dalam hal ada perintah, dikeluarkan oleh seorang pengusaha yang tidak berwenang untuk itu, namun si pelaku harus mengira secara jujur (te goeder trouw) bahwa perintah itu sah dan beres. Perbuatan yang dilakukan seorang bawahan ini harus dalam lingkungan pekerjaan jabatan.





Dalam ilmu hukum, khususnya hukum pidana, terhadap perbuatan melawan hukum dikenal adanya dua macam alasan yang menjadi dasar peniadaan pidana, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf.
       Alasan yang pertama yang disebut dengan alasan pembenar, berhubungan dengan sifat obyektivitas dari suatu tindakan yang melawan hukum. Dengan alasan pembenar ini suatu tindak pidana kehilangan unsur perbuatan melawan hukumnya, sehingga siapa pun juga yang melakukan tindakan tersebut tidak akan dapat dipidana karena tidak memiliki lagi unsur perbuatan melawan hukumnya. Termasuk dalam alasan pembenar ini adalah:
1.    Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48 KUHP)
2.    Adanya pembelaan yang terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1) KUHP).
3.    Karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP) dan;
4.    Karena sedang menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
       Alasan yang kedua disebut dengan alasan pemaaf yang berkaitan dengan sifat subyektivitas dari tindak pidana tersebut.

Dalam alasan pemaaf ini, seorang subyek pelaku tindak pidana dihadapkan pada suatu keadaan yang demikian rupa sehingga keadaan jiwanya menuntun ia untuk melakukan suatu tindakan yang termasuk dalam tindak pidana. Ini berarti dalam alasan pemaaf ini unsure kesalahan dari pelaku ditiadakan. Termasuk dalam alasan pemaaf tersebut adalah
1.    Ketidakmampuan bertanggungjawab dari pelaku (Pasal 44 ayat (1) KUHP)
2.    Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (pasal 49 ayat (2) KUHP)
3.    Hal menjalankan dengan itikad baik, suatu perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 auat (2) KUHP)
       Jika kita perhatikan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, ketentuan yang meng, ketentuan yang mengatur mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi debitor yang tidak dapat melaksanakan prestasinya  sesuai dengan kewajiban yang telah ditentukan dan pada saat yang telah ditetapkan dapat kita temukan dalam pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, yang berada dalam Bagian keempat Bab Kesatu Buku III KUH Perdata yang mengatur mengenai “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhi suatu perikatan”.  Kedua pasal tersebut, yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, secara lengkapnya berbunyi :
1.    Pasal 1244 KUH Perdata
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
2. Pasal 1245 KUH Perdata
Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
       Dari rumusan yang diberikan oleh kedua pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Yang dimaksud dengan alasan pembenar adalah alasan yang mengakibatkan debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perikatan pokok/asal, tidak diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.
2.    Alasan pembenar dalam alasan pemaaf yang diperbolehkaan tersebut bersifat limitative, dengan perngertian bahwa selain yang disebutkan dalam KUH Perdata tidak dimungkinan bagi debitor untuk mengajukan alasan lain yang dapat membebaskannnya dari kewajiban untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga dalam hal debitor telah cidera janji. Hal ini harus dibedakan dari suatu keadaan dimana kreditor tidak menuntut pelaksanaan penggantian biaya, kerugian dan bunga dari debitor yang telah cidera janji.
3.    Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang diperbolehkan hanya meliputi hal-hal sebagai berikut :
o    Untuk alasan pemaaf bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang dapat dipertanggungkan kepadanya, selama tidak ada itikad buruk kepadanya.
o    Alasan pembenar karena keadaan memaksa debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
o    Alasan pembenar karena kejadian yang tidak disengaja, debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu  perbuatan yang terlarang baginya.
       Yang menarik dari kesimpulan tersebut adalah bahwa persyaratan yang ditentukan dalam masing-masing huruf a, b, dan c angka 3, dalam tiap-tiap ketentuan bersifat kumulatif.

Dengan ketentuan tersebut berarti debitor tidak dapat diwajibkan untuk memberikan penggntian berupa biaya, kerugian dan bunga kepada kreditor, meskipun debitor telah lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkansuatu perikatan pokok/asal, selama dan sepanjang:
1.    Bagi alasan pemaaf, pasal 1244 KUH Perdata menentukan:
o    Ada suatu hal yang tidak terduga sebelumnya pada saat perikatan dilahirkan yang tidak memungkinkan dilaksanakannya perikatan pada saat yang telah ditentukan atau sama sekali tidak memungkinkan pelaksanaan dari perikatan tersebut.
o    Hal yang tidak terduga tersebut adalah suatu peristiwa yang berada di luar tanggung jawab debitor. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa suatu perikatan yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kehendak debitor adalah batal demi hukum. Perikatan tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal. Selain itu dalam hal perikatan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang telah ditentukan, oleh karena terjadinya suatu peristiwa yang masih berada di bawah kemampuan debitor untuk menghindarinya ataupun suatu peristiwa yang diciptakan oleh debitor atau yang terjdi karena kelalaian debitor,
o    Debitor tidak memiliki itikad buruk untuk tidak melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan padanya berdasarkan perikatan yang telah ada di antara debitor-kreditor. Dengan rumusan negative, yang menyatakan bahwa “selama tidak ada itikad buruk padanya”. KUH Perdata bermaksud menyatakan bahwa cukup debitor berada dalam keadaan netral saja, dan tidak perlu berlebihan dalam menyikapi terjdinya peristiwa yang tidak terduga tersebut, yang tidak berada di bawah tanggung jawabnya, yang menyebabkan debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan perikatan yang telah ada.
o    Terhadap alasan pembenar, Pasal 1245 KUH Perdata menentukan syarat yaitu tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila terjadi :
1.    Keadaan memaksa;
2.    Kejadian yang tidak disengaja.
       Yang menyebabkan debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan  atau melakuan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Kedua hal tersebut, yaitu adanya keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja adalah dua hal yang bersifat alternative, dengan pengertian bahwa jika salah satu peristiwa terjadi, maka debitor digapuskan dan kewajibannya untuk memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, meskipun debitor tidak memenuhi perikatan pada waktu yang telh ditetapkan.
       KUH Perdata tidak memberikan pengertian lebih lanjut dari kedu hal tersebut. Jika kita lihat pernyataan “keadaan memaksa”, yang dikaitkan dengan pernyataan “kejadian yang tidak disengaja” maka jelas rumusan tersebut menunjuk pada suatu keadaan yang merupakan kejadian yang berada di luar kekuasaan denitor sendiri.
       Dari uraian yang diberikan di atas tampak jelas bahwa hukum perdata hanya mengenai ketiga macam alasan sebagai alasan pempemaaf dan alasan pembenar yang memungkinkanseseorang yang telah wanprestasi tidak dikenakan ancaman hukuman dalam bentuk penggantian biaya kerugian dan bunga. Jika kita perhatikan ketiga macam alasan tersebut, dapat kita katakana bahwa dari ketujuh alasan yang diberikan dalam ketentuan hukum pidana tersebut di atas yaitu :
1.    Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48 KUHP)
2.    Adanya pembelaan yang terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1) KUHP)
3.    Karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP)
4.    Karena sedang menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP)
5.    Ketidakmampuan bertanggungjawab dari pelaku (Pasal 44 ayat (1) KUHP)
6.    Pembelaan terpaksa yang melampaui bata (noodweerexces, Pasal 49 ayat (2) KUHP)
7.    Hal yang menjalankan dengan itikad baik, suatu perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP)
       Terkait dengan  hal tersebut, yang dihubungkan dengan alsan pemaaf dan alasan pembenar dalam hukum perdata, dapat dikatakan bahwa ketiga alasan tersebut dapat dikatakan bahwa alasan pmbenar dalam hukum perdata  tersebut  adalah sama dengan keberadaan overmacht, noodweer dan noodweerexces dalam hukum pidana . Sedangkan dua alasan yang diesbutkan dalam angka 3 dan angka 4 sudah selayaknya jika ketentuan tersebut sama sekali menghapuskan unsure perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam kaitannya dengan ketentuan angka 6 dan angka 7 sebagai alasan pemaaf perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata yang berbunyi :
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. “
“Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. “
“Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasannya.”
“Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana meneka seharusnya bertanggung jawab”.

Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf

No comments:

Post a Comment