Friday 14 November 2014

Kedudukan Presiden Republik Indonesia sebelum dan setelah Perubahan Undang Undang Dasar 1945



BAB  I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
 Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945.
Keberlakuan beberapa konstitusi tersebut dipastikan berpengaruh terhadap kekuasaan Presiden Republik Indonesia. Secara garis besar, pada awal kemerdekaan berdasarkan ketentuan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945 kekuasaan presiden sangat besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, dan hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Namun dalam praktiknya kekuasaan seperti itu hanya bertahan selama dua bulan karena kemudian diterapkan sistem pemerintahan parlementer. Sehingga presiden hanya sebagai kepala negara atau simbol saja, sementara kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kondisi seperti itu terus berlanjut pada masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD Sementara Tahun 1950 karena dalam kedua konstitusi tersebut presiden hanya sebagai kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban dalam pemerintahan karena roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kemudian ketika undang undang dasar 1945 berlaku kembali, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan berfungsi kembali sehingga memberikan peluang yang besar bagi presiden untuk menjalankan kekuasaannya. Kekuasaan presiden RI menurut UUD 1945 lebih besar dari kekuasaan presiden amerika serikat. Sebagai contoh, presiden Amerika Serikat tidak mempunyai kekuasaan membentuk undang undang sebagaimana yang dimilki oleh presiden RI. Presiden Amerika Serikat hanya mempunyai kekuasaan memveto suatu rancangan undang undang.
Pada perkembanganya selanjutnya UUD 1945 mengalami perubahan setelah lengsernya presiden Soeharto pada 21 mei 1998 akibat protes yang bertubi tubi dan terus menerus dari rakyat pada umumnya dan Mahasiswa pada khusunya. Setelah presiden soharto lengser dari kursi kepresidenan, atas desakan beberapa elemen Masyarakt MPR untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahapan.
Pada perubahan tahap pertama telah terjadi perubahan dalam sembilan pasal di UUD 1945. Hal hal subtansif yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut : 1. Terjadi pembatasan jabatan presiden. Sebelum dilakukan perubahan, ada peluang seorang presiden dapat menjabat terus menerus sebagaiman yang dilakukan oleh presiden Soeharto dan Soekarno, karena bunyi pasal tetang masa jabatan presiden  sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi. Sesudah perubahan tahap pertama, seorang Indonesia paling lama menjabat sebagai presiden selama 10 tahun. 2. Adanya pembatasan kekuasaan presiden dalam bidang legislatif, dalam perubahan tahap pertama di tegaskan bahwa kekusaan legislatif berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sekalipun demekian, presiden dapat mengajukan sebuah rancangan undang undang kepada DPR. 3. Adanya usaha membangun mekanisme cheks and balnces. Dalam perubahan yang pertama ini, ada usaha untuk membangung checks and blances antar lembaga legislatif, eksekutif dan yudisial.[1]
Semangat perubahan UUD 1945 tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2000, terjadi perubahan lagi yaitu tepatnya 18 Agustus 2000. Pada perubahan tahap kedua ini ada 25 pasal yang mengalami perubahan dengan enam materi pokok, yaitu menyangkut pemerintahan Daerah atau desentralisasi, wilayah Negara, kedudukan warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, pertahan dan keaman negara, dan menyangkut bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Dari perubahan tersebut, ada dua hal yang paling mendasar mengalami perubahan, yaitu : menyangkut pemerintahan daerah yang terdapat pada pasal 18.dalam pasal tersebut ada penegasan yang kuat melalui konstitusi bahwa negara indonesia menjamin di laksanakannya pemberiab otonomi yang luas kepada daerah.kedua mengenai HAM’yang diatur dalam pasal 28.pasal ini mengalami penambahan jika di lihat jumlah pasalnya dan sekaligus mengalami penegasan.


Pada perubahan tahap ke 3 ini terjadiperubahan yang mendasar terhada UUD 1945,terkait dengan kedaulatan,perombakan parlemen,pemilihan presidan secara langsung,membentuk lembaga baru yang bernama mahkama konstitusi dan mengatur prosedur terhadap UUD. Pada Agustus 2002 MPR kembali melakukan perubahan tahap ke 4.perubahan tersebut memfokuskan pada persoalan susunan MPR cara pemilihan presiden,penyelesaian jika presidan mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak bisa menjalankan kewajibannya,pemberian hak terhadap presiden untuk membentuk suatu dewan pertimbangan presiden penghapusan dewan pertimbangan agung serta,ketentuan mengenai indenpedensi bank indonesia selain itu pada perubahan tersebut menetapkan batas minimal anggaran untuk biaya pendidikan sebanyak 20% dari APBN serta adanya ketentuan yang mengharamkan perubahan pada bentuk negara kesatuan repoblik indonesia.
Hasil dari perubahan tersebut kalau di cermati terjadi pengurangan kekuasaan presiden.pada perubahan tahap 1 dan tahap ke 2 ketentuan tersebut terjadi perubahan yang sangat mendasar yakni pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945,menyatakan presiden berhak mengajukan rancangan UUD kepada DPR.selanjutnya pada pasal 20 ayat 1 juga menegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentu UUD,sehinga berdasarkan perubahan tahap 1 dan ke 2 UUD 1945,kekuasaan UUD itu di alihkan dari presiden kepada DPR.
Selain itu beberapa hak mutlak trcantum UUD 1945 setelah perubahan telah terjadi sedikit pengurangan tersebut bisa dilihat adanya pelibatan DPR,baik harus mendapat persetujuan DPR atau sekedar minta pertimbangan saja selain itu ada pula pelaksanaan ditentukan oleh UUD dan temtunya melibatkan peran DPR.kekuasaan mutlak presiden yang telah dikurangi adalah pengangkatan duta besar ,dan konsul pemberian amnesti dan abolisme serta kewenangan perjanjian internasional.
Untuk itu maka perluh dikaji secara mendalam bagaimana kekuasaan presiden sebelum dan sesudah perubahan, bagaimana persamaan dan perbedaan kedudukan sebelum dan sesudah perubahan serta akibat yang menyebabkan seorang presiden itu dapat diberhentikan atau dilengserkan dari kedudukannya sebagai seorang presiden.



B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka masalah masalah yang dapat diindetifikasi dan dirumuskan berkenaan dengan masalah pokok yang menyangkut kedudukan presiden Republik Indonesi menurut Undang undang dasar 1945  Amandamen Terakhir adalah sebagai berikut
1.     Bagaimana Kedudukan presiden Republik Indonesia sebelum dan sesudah perubahan Undang Undang Dasar 1945 ?
3.     Faktor Faktor Apakah yang menyebabkan Presiden dapat di maksulkan atau Impeach menurut ketentuan UUD 1945.?
C . TUJUAN
Adapun tujuan dari hasil karya tulis ilmiah kami diantaranya sebagai berikut :
1.     Untuk Mengetahui kedudukan presiden Republik Indonesia sebelum maupun sesudah perubahan Undang undang Dasar 1945.
2.     Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari Kedudukan Presiden Republik Indonesia sebelum dan sesudah perubahan Undang undang Dasar 1945.
3.     Untuk mengetahui Faktor yang menyebabkan seorang presiden itu dapat di maksulkan atau Impeach menurut ketentuan UUD 1945.








BAB II
KERANGA TEORI
A. Teori Sumber Kekuasaan
Banyak teori yang menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasan adalah dari tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Agustiunus,Thomas Aquinas, dan Marsilius.[2]
Kemudian J.J rousseau yang mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyrakat, yang kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diberikan kepada raja.penyerahan kekuasan disini  sifatnya bertingkat[3].
Sedangkan menurut Thomas Hobbes penyerahan kekuasaan tersebut diserahkan oleh masing masing orang langsung diserahkan kepda raja dengan melakukan perjanjian masyrakat.[4]
B. Teori Kekuasaan Negara
Teori kekuasaan negara sudah diperbincangkan sejak zaman yunani kuno. Misalanya Plato dan Aristoteles, dua pemikir besar itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganegaranya dengan nilai nilai moral yang rasional.[5]
Pada zaman pertengahan, dalam bentuk yang sedikit berlainan, pemikiran ini muncul kembali. Para pemikir pada saat itu menyatakan bahwa negara harus tunduk pada gereja. Negara adalah wakil gereja di dunia, dan gereja adalah wakil tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia.

Ada juga pemikiran yang memisahkan negara dari gereja. Para pemikir baru ini lebih menjelaskan kekuasaan negara secara rasional dan pragmatis. Misalnya, Thomas Hobbes yang menekankan pentingnya kekuasaan pada negara, karena kalau tidak para warga negara akan saling berkelahi dalam memperjuangkan kepengtingan negara.di sini mulai muncul hipotesis bahwa negara merupakan wakil dari kepengtingan umum sedangkan masyarakat hanya mewakili kepengtingan pribadi atau kelompok secara terpecah pecah.[6]
Akhirnya muncul Karl Marx yang memiliki tafsiran baru tetang negara dan kekuasaan. Dia berpendapat kekuasaan adalah terciptanya masyarakat sosial, bukan masyarakat demokratis[7]. Dia menunjukkan bahwa perjuangan kelas adalah motor penggerak sejarah. Negara, setelah diambil oleh kelas buruh,memiliki kekuasaan yang besar untuk merealisasikan masyarakat sosialis ini.
Miriam Budiardjo memberikan arti kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu[8]. Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari atau bahkan menjadi rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini. Hal itu di pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia yang bermacam-macam sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas orang lain.
C.Teori Pemisahan Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan, yang oleh immanuel kant di sebut sebagai doktrin Trias Politika, Di kemukakan oleh Monstesquieu dalam bukunya L’esprit Des Loi. Dasar pemikiran doktrin trias politika sudah pernah di kemukakan oleh aristoteles dan kemudian juga pernan dikembangkan oleh Jhon Locke. Dengan begitu ajaran ini bukan ajaran baru bagi Monstesquieu. Secara garis besar ajaran Monstequieu sebagai berikut.

Pertama, Terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena monstesquei hidup dalam kondisi dan politik tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Monstequieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena di khawatirkan akan melaksanakan pemirintahan tirani Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini di maksudkan agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara.[9]
Melihat pendapat yang dikemukakan oleh monstesquie dalam teori pemisahan tersebut diatas maka kami berkesimpulan bahwa setiap kekuasaan itu harus diserahkan kepada bidangnya masing masing, agar tercipta kesimbangan antara tiga lembaga tersebut.
D. lembaga Kepresidenan
Berangkat dari teorinya Montesquieu, ada tiga lembaga dalam sebuah negara dalam rangka menjalankan kekuasaan yang dimiliki oleh negara dalam rangka menjalankan kekuasaan yang dimiliki oleh negara yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudkiatif atau yudisial. Meksipun ada tiga lembaga negara, akan tetapi dalam karya tulis ilmiah kami hanya akan dikaji satu lembaga yaitu kepresidenan, karena karya tulis ilmiah kami berkaitan denga kekuasaan eksekutif yang ada di Indonesia. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengkaji secara teoritis lembaga eksekutif.
a. Jabatan presiden
Menurut tata bahasa, kata presiden adalah derivative dari to preside yang artinya memimpin atau tampil di depan. Kalau dicermati dari bahasa latin, yaitu prae yang artinya di depan dan sedere yang berrti menduduki.
Presiden adala suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, perusahaan, perguruan tinggi, atau negara. Pada awalanya, istilah ini digunakan untuk sesorang yang memimpin suatu acara atau rapat; tapi kemudian secara umum berkembang menjadi istilah untuk seseorang yang memiliki kekuasaan eksekutif. Lebih spesifisiknya, istilah presiden terutama digunakan untuk kepala negara bagi negara.
b. Peran utama seorang presiden
Dalam kaitannya dengan peran utama seorang presiden maka kami mencoba untuk melihat bagaimana peran utama seorang presiden di amerika serikat, sebuah negara yang pertama kali memperkenalkan jabatan seorang presiden kepada dunia.
Menurut Clinton Rossiter mencatat ada sedikitnya lima perang utama seorang presiden di amerika yaitu : 1. Presiden adalah kepala negara. Posisi sebagai kepala negara menurut kami adalah sebagai lambang dari sebuah negara, misalnya Dia menyambut tamu tamu penting dari segala bagian dunia, 2. presiden sebagai kepala ekesekutif atau pemerintahan, 3. Presiden sebagai diplomat utama, 4. Presiden sebagai legislator utama dan kelima persiden sebagai panglima tertinggi.[10]
Melihat pendapa Clinton Rossiter yang kami ambil dari salah literatur kami dalam menyusun karya ilmiah ini, maka kami berasumsi bahwa pendapat yang di kemukakan oleh Clinton Rossiter mengenai peran utama presiden di amerika memilik kesamaan denga peran utama presiden di Indonesia.









BAB III
PEMBAHASAN
1. Kedudukan Presiden RI sebelum dan sesudah Perubahan Undang undang   Dasar 1945
A. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan
Presiden republik indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang undang Dasar. Demekian bunyi pasal 4 ayat 1 Undang undang dasar 1945. [11]Pasal tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan baik sebelum dan sesudah diamandemen.Menurut Harun Kamil, Pimpinan rapat ke 1 PAH III badan pekerja MPR, pasal 4 ayat 1 tersebut tidak perlu diadakan perubahan karena yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemerintahan bukan isi dari pasal tersebut, akan tetapi karena adanya beberapa TAP TAP MPR yang memberikan kewenangan di luar pasal tersebut serupa juga terjadi pada pasal 4 ayat 2 yang tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut berbunyi, dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.[12]
Menurut Kami Mengenai pasal 4 yang tidak mengalami perubahan karena pada pasal 4 UUD 1945 ayat 1 dan 2 itu merupakan kekuasaan eksekutif, penyelengaraan pemerintahan yang dilaksankan oleh presiden dan dibantu oleh wakil presiden, oleh karena itu tidak perlu lagi melakukan perubahan karena ini memang tugas dan wewenag dari badan ekesekutif. dan ini juga sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Monstequei.
B. Kekuasaan di bidang perundang undangan
     1. Kekuasaan mengajukan Rancangan Undang undang dan membahasanya bersama DPR.
Berdasarkan passal 5 Undang Undang Dasar 1945 sebelum perubahan presiden memegang kekuasaan membentuk Undang undang dengan setujuan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). [13]Namun, setelah perubahan kekuasaan membentuk Undang Undang dipegang oleh DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 20 ayat 1 Undang undang Dasar 1945 setelah perubahan. Secara tegas pasal tersebut mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang undang Meksipun begitu presiden tetap mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat tetapi, khusunya mengenai rancangan Undang undang tetang anggaran pendapatan dan belanja negara, hanya presiden yang mempunyai kekuasaan untuk mengajukan rancangannya.DPR dan DPD tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan rancangan mengenai hal tersebut[14].
Menurt kami melihat perubahan pada pasal diatas maka kami berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran dalam kekuasaan untuk membentuk undang undang atau kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR. Meskipun pembahasan harus dilakukan secara bersama untuk mendapat persetuuan bersama, setiap rancangan UU harus disahkan lebih dahulu oleh presiden untuk menjadi undang undang, tetapi pemegang asli kekuasaan itu pada dasarnya telah bergeser dari tangan presiden ke DPR.
Segala macam rancangan undang undang harus dibahas bersama dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jikaa rancangan undang undang tersebut tidak mendapatkan persetujuan bersama, maka rancangan undang undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakya masa itu
Setiap rancangan undang undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan presiden harus mendapat pengesahan presiden. Namun, jika rancangan undang undang yang telah mendapat persetujuan bersama tersebut dalam 30 hari sejak mendapat persetujuan bersama tersebut tidak mendapat pengesahan dari presiden, maka rancangan undang undang ini sah menjadi undang undang ( pasal 20 ayat 5 )
 2. Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang undang.
Ketentuan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 tidak mengalami perubahan.pasal tersebut tetap berbunyi: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berkhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang.[15] Di dalam penjelasan pasal 22 UUD 1945 sebelum perubhan dijelaskan sebgai berikut :
Pasal ini mengenai noodverordeningsrech presiden aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena, peraturan peraturan dalam pasal in, yang kekuatannya sama dengan undang unang harus disahkan pula oleh dewan perwakilan rakyat.
Menurut Bagir Manan, penafsiran maupun pertimbangan pertimbangan subjektif dari presiden dalam menerjemahkan kegentingan yang memaksa tersebut akan bahaya jika tidak diberikan batasan batasan ruang lingkup atau kriteria objektif tetang hal tersebut. Bagir Manan seppakat jika pengertian mengenai kegentingan yang memaksa sebagai suatu keadaan kedaruratan dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan , keutuhan negara atau ketertiban umum. Selain itu dapat juga dimasukkan tertjadinya krisis krisis ekonomi, bencana alam atau keadaan lain yang memerlukan pengaturan setingkat dengan undang undang. Dapat juga di masukkan terjadinya kekosongan undang undang yang mendesak untuk diaddakan atau penagguhan penerapan suatu undang undang yang dikhawatirkan akan menimbulkan keguncangan atas ketertiban umum atau melukai rasa keadilan.
Meksipun begitu tetap pertimbangan subjektif presiden adalah penentu dari keluarnya perpu tersebut. Pertimbangan subjektif seperti ini dikhawatirkan oleh berbgai pihak akan disalahgunakan oleh presiden.
Terhadap hal tersebut kami kurang sepakat. Karena ketentuan UUD 1945 jelas membedakan antara perpu dan undang undang. Udang undang sebagai produk yang dikeluarkan dalam keadaan biasa, sementara perpu dikeluarkan dalam keadaan tidak biasa. Dalam keadaan biasa sesuai dengan penjelasan pasal 22 UUD 1945 sebelum perubahan, maka jelas sekali produk hukum tersebut diadakan untuk mengatasi sebuah persolan dengan cepat. Agar kekhawatiran terjadinya tidakan kesewenag wenangan yang dilakukan oleh presiden dengan mengeluarkan perpu yang menyengsarakan rakyat bisa di minimalisir maka harus dibuat suatu undang undang yang menjelaskan maksud dari  dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa itu apa, serta kondisi kondisi seperti apa perpu tersebut dikeluarkan.



3.  Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang undang sebagaimana mestinya.Demekian bunyi pasal 5 ayat 2 Undang undang Dasar 1945 yang tidak mengalami perubahan.Peraturan pemerintah bisa dibuat berdasarkan perintah dari undang undang delegasi atau berdasarkan  pertimbangan presiden untuk melaksanakan undang undang.
Menurut Bagir Manan, dalam hal tidak ada perintah tegas dari undang undang, presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti keputusan presiden yang mengatur .sekarang namanya berganti peraturan presiden, kecuali apabila hal tersebut akan melanggar asas asas umum peraturan perundang undangan yang baik atau pembatasan teknis lainnya, misalnya larangan pemuatan pidana. Karean PP ditetapkan untuk melaksanakan UU, maka materinya jangan sampai berseberangan dengan materi muatan undang undang.
C. Kekuasaan di bidang Yudisial
Menurut ketentuan pasal 14 Undang undang Dasar 1945 sebelum perubahan presiden mempunyai kewenangan untuk memberi grasi,amnesti abolisi dan rehabilitasi. Namun setelah perubahan Undang undang Dasar 1945 ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan yaitu dalam hal memberi garsi dan amnesti,presiden memerhatikan pertimbanagn Mahkamah Agung dan dalam hal memberi amnesti, dan abolisi, serta presiden juga memerhatikan pertimbangan DPR.
Menurut pasal 1 angka 1 UU No 22 tahun 2002 tetang Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,peringatan,pengurangan,atau penghapusan pelaksanaan pidanana kepada terpidana yang di berikan oleh presiden.
Menurut T gayus lumbun, amneti adalah bentuk pengampuna yang diberikan oleh presiden sebagai pengampunan penghapusan hak penuntutan dari penuntut umum sehingga sesorang atau sekelompok tersangka tindak pidana tidak perlu dilakukan penuntutan hukum.Amnesti ini diberikan melalui pernytaan umum oleh kepala negara kepada pelaku tinak pidana.[16]
Menurut kami mengapa pasal 14 UUD 1945 mengalami perubahan karena untuk membatasi kekuasaan presiden agar tidak bertindak sewenang wenang apalagi yang berhubungan denga pemberian amnesti,garsi, abolis dan rehabilitasi yang rawan dengan penyimpangan.
D. Kekuasaan dalam hubungan luar negeri
Menurut bagar Mannan, hubungan dengan luar negeri adalah masuk dalam kekuasaan asli eksekutif. Hanya eksekutif yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan setiap bentuk atau inisiatif hubungan luar negeri.
Dalam UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan menetapkan beberapa jenis hubungan luar negeri yaitu mengadakan perjanjian dengan negara lain, Menyatakan perang dengan negara lain, mengangkat duta dan konsul untuk negara lain dan menerima duta dan konsul negara lain.
1.     Kekuasaan mengadakan perjanjian dengan negara lain
Ada sedikit perubahan dalam ketentuan pasal 11 Undang undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Perubahan tersebut berupa penambahan dua ayat pada pasal tersebut sehingga menjadi 3 ayat, isisnya pada ayat 1 itu sama dengan bunyi pasal 11 undang undang Dasar 1945 sebelum perubahan yaitu: presiden dengan persetujuan dewan perwakilan Rakyat menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.[17] Ayat 2 menyatakan presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang unang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ayat 3 berbunyi Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang undang
2.     Kekuasaan menyatakan perang dengan negara lain
Presiden sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam pasal 11 Undang undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan mempunyai kewenangan menyatakan perang dengan negara lain. Secara esensial pasal 11 Undang undang Dasar 1945, terutama yang berkaitan dengan pengaturan perang dengan negara lain, tidak mengalami perubhan secara signifikan, dari dahulu sampai sekarang presiden tetap membutuhkan persetujuan DPR.  Karena menurut kami itu sesuatu yang wajar jika perang memerlukan persetujuan DPR karena membawa konsekuensi yang angat besar bagi kehidupan bangsa dan negara, baik dari ketatanegaraan, politik, perekonomian, maupun pertahan keamanan.
3.     Kekuasaan mengadakan perdamaian dengan negara lain
Sesuai pasal 11 Undang undang Dasar 1945, presiden mempunyai kekuasaan untuk membuat perdamain tidak boleh diartikan hanya sebagai cara mengakhiri suatu permusuhan perang yang telah atau sedang terjadi. Pengertian perdamaian di sini termasuk memelihara atau mempertahankan perdamaian, memasuki suatu fakta pertahanan untuk menciptakan atau memilhara perdamain. Perjanjian perdamaian dalam rangka mengkhakiri secara de jure suatu peperangan atau permusushan, tidak hanya terbatas pada penghentian permusuhan, tetapi mencakup juga hal hal lain seperti soal tawanan, ganti rugi akibat peperangan, dan lain sebagainya. Dalam hal membuat perjanjian perdamaina, presiden wajib minta persetujuan DPR.
4.     Kekuasaan mengangkat dan menerima duta dan konsul
Pasal 13 Undang undang Dasar 1945 yang menjadi dasar kewarganegaraan presiden mengangkat duta dan konsul serta menerima duta dan konsul sedikit mengalami perubahan. Sebelum perubahan kewenangan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh presiden tanpa ada pertimbangan dari lembaga negara lainnya. Namun,setelah perubahan Undang undang Dasar dalam hal mengangkat duta dan menerima duta negara lain presiden diharuskan memerhatikan pertimbangan DPR.
E. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya
Berdasarkan pasal 12 Undang undang dasar 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali, presiden mempunyai kewenangan untuk menyatakan kedaan bahaya. Pasal tersebut berbunyi : presiden menyatakan keadaan bahaya. Sayrat syarat dan akibatnya keadaan bahaya diatur dalam undang undang.[18]
Dengan merujuk pada ketentuan pasal tesebut, maka dalam meyatakan negara dalam keadaan bahaya, presiden tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dalam undang undang, yang berarti memerlukan persetujuan DPR.
Menurut Suwoto Mulyo Sudarmo, dalam keadaan negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, presiden memiliki peluang yang besar dalam memainkan peranannya. Dalam praktek kenegaraan, jika perlu presiden dapat bertindak secara inkonstitusional[19]
Menurut kami juga setuju dengan pendapat ahli diatas yaitu suwoto mulyo sudarmo, dengan alasan karena dalam keadaan bahaya suatu negara maka tidankan presiden itu adalah sah dan dapat dibenarkan dan tidak perlu untuk meminta pertimbangan dari DPR karena itu dalam keadaan gawat, oleh sebab itu tidak perlu diadakan perubahan.
F. Kekuasaan sebagai pemegang tertinggi dalam angkatan bersenjata
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Demekian bunyi pasal 10 Undang undang Dasar 1945 [20]yang tidak mengalami perubahan.[21] Dari ketentuan tersebut, maka kepolisian tidak termasuk sebagai angkatan perang atau bersenjata. Tetapi pada era sebelum reformasi , berdasarkan pasal 3 undang undang no 13 tahun1961 angkatan kepolisian dinyatakan sebagai angkatan bersenjata Republik Indonesia.
G. Kekuasaan memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya
Kekuasaan presiden dalam hal memberikan gelar,tanda jasa, dan tanda kehormatan diatur dalam pasal 15 Undang undang Dasar 1945. Sebelum perubahan pasal tersebut berbunyi presiden memberi gelaran, tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan[22]. Namun pada perubahan pasal tersebut mengalami sedikit perubahan menjadi presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain lain tanda kehormatan yang diatur dalam undang undang[23].
Ternyata perintah diatur lebih lanjut dengan undang undang sebagaimana terdapat dalam pasal 15 UUD 1945 setelah perubahan sampai sekarang belum dibuat. Menurut daftar program legislasi nasional yang dikeluarkan oleh DPR, rancangan undang undang pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya menepati urutan ke 37 daftar antri, yang akan diprioritasikan pda tahun 2007. Sehingga dipakai saat ini ( juli 2007 ) adalah berbagai peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pemberian bintang dan satyalencana.
Tanda jasa bintang diberikan kepada orang yang berjasa luar biasa kepada bangsa negara. Sedangkan tanda jasa satyalencana diberikaan kepada orang yang berjas besar pada bangsa atau negara.
Menurut kami perubahan pada ini hanya  perubahan kata saja yang sebelumnya memakai kata gelaran berubah menjadi gelar mengapa karena kata gelaran mengandung makana yang sempit sedangkan gelar memiliki arti yang lebih luas.
H. Kekuasan membentuk dewan pertimbngan presiden
Sebelum perubahan undang undang dasar 1945, berdasarkan pasal 16 DPA adalah lembaga negara yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam kedudukan sejajar, karena sama sama lembaga tinggi negara. Namun, presiden tidak terkait dengan nasihat dari pertimbangan itu[24]. Hal tersebut dianggap keberadaan Dewan Pertimbangan Agung tidak  efektif dan efesien. Demekian pula mekanisme penetapan pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung sehingga ketika presiden membutuhkan nasihat tidak dengan serta merta bisa diberikan.
Sekarang lembaga tersebut tinggal kenangan, karena pasal 16 undang undang dasar 1945 sudah tidak mengatur Dewan Pertimbangan Presiden. Selengkapnya pasal tersebut berbunyi presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden,yang selanjutnya diatur dalam undang undang
I. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri menteri.
Setelah perubahan Undang undang dasar 1945 pasal 17 mengalami sedikit perubahan. Jika sebelum perubahan, presiden bebas melakukan pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementrian negara, maka setelah perubahan Undang undang dasar 1945 hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan serta merta,karena semua itu diatur dalam undang undang.
itu artinya, untuk melakukan pembentukan pengubahan dan pembubaran kementrian negara, presiden memerlukan persetujuan DPR. Namun dalam urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri menteri, presiden bebas melakukan kapan saja tanpa harus meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga lainnya.
J. Kekuasaan mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat pejabat negara lainnya
Setelah perubahan Undang undang dasar 1945, presiden Republik Indonesia juga mempunyai beberapa konstitusional dalam hal pengangkatan pemberhentian penetapan maupun peresmian pejabat pejabat negara di antaranya itu yang tertuang dalam pasal 23 F yang berbunyi presiden mempunyai kekuasaan konstitusional untuk meresmikan Badan Pemeriksa keuangan yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.[25] Kedua berdasarkan pasal 24 ayat 3 UUD 1945 Presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan calon Hakim agung usulan dari komisi yudisial yang telah di setujui DPR. Berdasarkan pasal 24 B ayat 3 UUD 1945 presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat dan meberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan DPR, dan keempat berdasarkan pasal 24 C UUD 1945 presiden juga mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan 3 hakim konstitusi dan menetapkan sembilan hakim konstitusi yang diusulkan masing masing tiga dari mahkama agung, tiga dari DPR, dan tiga dari Presiden.[26]







2.  Perbedaan dan Persamaan Kedudukan Presiden Republik Indoneisa Sebelum dan Sesudah Perubahan Undang Undang Dasar 1945.
Undang Undang Dasar 1945
Sebelum Perubahan
Sesudah Perubahan
Pasal 4

1.Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang undang Dasar
2. Dalam melakukan kewajibannya presiden di bantu oleh satu orang wakil presiden
1. presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang undang Dasar
2. Dalam melakukan kewajibanya presiden di bantu oleh satu orang wakil presiden.
Pasal 5
1. Presiden memegang kekuasaan membentuk undang undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang undang sebagaimana mestinya
1. Presiden Berkhak mengajukan rancangan undang undag kepada dewan perwakilan rakyat.*)
2. Presiden menetapkan peraturan undang undang sebagaimana mestinya.
Pasal 10

Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara
Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara
Pasal 11
Presiden dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
1. Presiden dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.****)


2. Presiden  membuat  perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***)

3. ketentuan lebih lanjut tetang perjanjian internasional diatur dengan undang unang.***)

Pasal 12

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang undang.
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang undang.
Pasal 13
1. Presiden mengangkat duta dan konsul
2. Presiden menerima duta negara lain
1. Presiden mengangkat duta dan konsul
2. Dalam hal mengangkat duta presiden memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*)
3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memerhtikan pertimbangan Dewan Perwakilann Rakyat.*)
Pasal 14
1. Presiden memberi grasi, amnesti,abolisi dan rehabilitasi.
1. Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkama Agung.*)
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*)
Pasal 15
1. Presiden Memberi gelaran,tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan.
. Presiden Memberi gelar,tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang undang.*)
Pasal 16
1. Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang undang.
2. Dewan ini berkewajiban atas pertanyaan presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah
1. Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang undang.****)

Pasal 17
1.presiden di bantu oleh menteri menteri negara
2. Menteri menteri negara itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden
3.Menteri menteri itu memimpin Departemen Pemerintah
1. presiden di bantu oleh menteri menteri negara
2. Menteri menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.*)
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.*)
4. Pembentukan Pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang undang.***)
Pasal 20
1. Tiap tiap undang undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Jika suatu rancangan undang undang tidak mendapat persetujuan Dewan perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasan membentuk undang undang.*)
2. Setiap rancangan undang undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.*)
3. jika rancangan undang undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat
4. Presiden mengesahkan rancangan undang undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang undang
5. dalam hal rancangan undang undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh tahun hari semenjak rancangan undang undang tersebut sah menjadi undang undang dan wajib diundangkan.**)
Pasal 21
1.Anggota angita dewan perwakilan berkhak  mengajukan rancangan undang undang.
2. jika rancangan itu,meskipun disetujui oleh dewan perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh presiden, maka rancangan itu tidak boleh dimajukan dalam persidangan dewan perwakilan rakyat masa itu.
1. Anggarn Dewan Perwakilan Rakyat berkhak mengajukan usul rancangan undang undang.
Pasal 22
1. Dalam hal ihwal kegentinganyang memaksa, presiden berkhak menetapkan praturan pemerintah sebagai pengganti undang undang.
2. peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan dewan perwkilan rakyat dalam persidangan  berikutnya.
3. jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus di cabut
1.Dalam hal ihwal kegentinganyang memaksa, presiden berkhak menetapkan praturan pemerintah sebagai pengganti undang undang.
2. peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan dewan perwkilan rakyat dalam persidangan  berikutnya.
3. jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus di cabut
Pasal 23
1. anngaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap tiap tahun dengan undang undang. Apabila rakyat tidak menyetujui undang undang yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
2. segala pajak untuk keperluan negaara berdasarkan undag undang.
3. macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang undang.
4.hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang undang
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tetang keuangan  negara diadakan suatu baan pemeriksa keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang undang hasil pemeriksa itu diberitahukan kepada dewan perwakilan rakyat.
1. anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang undang dan dilaksanakn secara terbuka dan bertanggung jwab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.***)
2. Rancangan undag undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan dewan perwakilan daerah.***)
3. apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden, pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara
Pasal 23 F
-
1. anggota badan pemriksa keuangan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat dengan memerhatikan pertimbangan dewan perwakilan daerah dan diresmikan oleh presiden.***)
2. pimpinan badan pemeriksaan keuangan dipilih dari dan oleh anggota.***)
Pasal 24 A
-
3. Calon hakim agung diusulkan komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim angung oleh presiden.***)
Pasal 24 B
-
3 presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat dan meberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan DPR.***)
Pasal 24 C
-
3.presiden juga mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan 3 hakim konstitusi dan menetapkan sembilan hakim konstitusi yang diusulkan masing masing tiga dari mahkama agung, tiga dari DPR, dan tiga dari Presiden.***)


Keterangan
*) Perubahan pertama                       ***) Perubahan Ketiga
**) perubahan kedua                        ****) Perubahan Keempat
3. Faktor Faktor Apakah Yang menyebabkan Presiden dapat di maksulkan atau Impeachmen menurut ketetntuan UUD 1945. ?
Sebelum membahas mengenai pemakzulan atau impeachment menurut UUD 1945, ada baiknya terlebih dahulu membahas mengenai makna sebenarnya dari “pemakzulan” atau “impeachment” itu. Kita sering bertanya-tanya apa sih sebenarnya arti kata pemakzulan itu. Dr. Harjono, S.H., M.CL1) dalam situs http://id.wikisource.org, mengatakan: “Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada  prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya”. Dengan demikian impeachment sebenarnya baru merupakan tahapan awal dari proses untuk memberhentikan atau menurunkan Presiden atau pejabat tinggi negara lainnya, meskipun proses tersebut belum tentu berakhir dengan pemberhentian atau pemecatan Presiden atau pejabat tinggi negara bersangkutan.
Senada dengan hal di atas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie) dalam detiknews.com menjelaskan, pemakzulan sebagai mekanisme penuntutan tanggung jawab presiden dan atau wakil presiden tidak selalu berujung pada pencopotan.
Presiden dan atau wakil presiden yang terbukti melanggar hukum lewat persidangan di Mahakamah Konstitusi (MK) tidak otomatis bisa dicopot jabatannya”. Jelaslah bahwa  dari beberapa pengertian tersebut di atas,  kami berpendapat bahwa “impeachment” merupakan proses peradilan terhadap pejabat negara yang diduga melakukan pelanggaran hukum, dan tidak mesti berkhir dengan “jatuhnya” pejabat bersangkutan. Impeachment itu sendiri baru merupakan tahap awal dari dua tahap yang harus dilalui untuk sampai pada putusan apakah pejabat tersebut harus diberhentikan atau tidak, sistem yang juga dianut oleh Indonesia.  Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: “Bagaimanakah sebenarnya perkara pemakzulan atau impeachment tersebut diatur di negara kita?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita kembalikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 (sebelum maupun sesudah diamandemen) dan peraturan perundang-undangan lainnya.


Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, tidak terdapat dalam Batang Tubuh pasal-pasal nya yang secara “letterlijk” memuat mengenai pemakzulan atau impeachment. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menanggapi pendapat Prof. Dr Harun Al- Rasyid yang menyatakan bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga yang namanya “impeachment”: “Saya mengatakan betul, karena impeachment” itu bahasa Inggris. Tetapi, baik menurut kamus bahasa Inggeris maupun kamus-kamus hukum, ‘to impeach’ itu artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Dalam hubungan dengan kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, ‘impeachment’ berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya. Hampir semua konstitusi mengatur soal ini sebagai cara yang sah dan efektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan konstitusi” Memang benar seperti yang dinyatakan oleh kedua pakar hukum tersebut bahwa UUD 1945 tidak memuat dalam pasal-pasalnya kata pemakzulan, namun demikian kalau kami mencermati di dalam Penjelasannya, seperti yang juga dikatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dinyatakan bahwa: “ Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa diminta pertanggungan jawab kepada Presiden”. Dari Penjelasan  UUD 1945 tersebut jelaslah bahwa UUD 1945 sebenarnya memuat mengenai pemakzulan, yang prosesnya melalui “Sidang Istimewa” MPR dan hanya ditujukan kepada seorang Presiden. Jadi di dalam Batang Tubuh atau Pasalpasalnya tidak secara “letterlijk” memuat hal tersebut. Tetapi kita mengetahui bahwa UUD 1945 adalah terdiri dari: Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan, di mana ketiga bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Di samping itu dari berbagai literatur, diketahui bahwa hampir semua konstitusi negara mengatur permasalahan “pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournement de pouvoir) dan tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip prinsip rule of law, Pancasila, dan UUD 1945.Sekarang bagaimana perkara tersebut mendapatkan pengaturan dalam UUD 1945 setelah diamandemen? Mari kita lihat bersama. Kita mengetahui bahwa setelah diamandemen, UUD 1945 tidak lagi mempunyai penjelasan. Di dalam Pasal II Aturan Tambahan dinyatakan: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Pembukaandan pasal-pasal”. Dari bunyi pasal tersebut, nyatalah bahwa UUD 1945 kita sekarang tidak lagi mempunyai Penjelasan (selanjutnya penulis tidak membahas mengapa Penjelasan UUD 1945 dihapus).
Mungkin akan timbul pertanyaan lagi: “Di mana diaturketentuan mengenai pemakzulan – yang tadinya diatur di dalam Penjelasan – setelah Penjelasan tersebut dihapus? Di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, proses pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai kandungan Pasal-pasal tersebut, mari kembali pada ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dari isi Pasal 6A tersebut, mungkin akan timbul pertanyaan: “Apakah mungkin Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara berpasangan tersebut dapat dimakzulkan secara masing-masing? Atau apabila Presiden atau Wakil Presiden kemudian ternyata terbukti melakukan pelanggaran apakah mereka berdua harus dimakzulkan, karena mereka dipilih dalam satu pasangan?” untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus menggunakan logika berpikir bahwa apakah mungkin apabila seseorang bersalah maka orang lain yang tidak bersalah juga harus menanggung kesalahan itu?
Karena apabila demikian maka itu berarti mendzolimi orang yang tidak bersalah dan tujuan dari hukum untuk memberikan keadilan tidak akan tercapai. Demikian juga dalam hal apabila Presiden atau Wakil Presiden yang melakukan kesalahan, maka pasangannya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan yang diperbuat oleh masing-masing pasangannya tersebut, meskipun mereka dipilih dalam satu pasangan. Pasal 7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dari ketentuan tersebut nyatalah bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan.
Di samping itu pasal tersebut mengatursecara limitatif jenis pelanggaran apa yang dapat menyebabkan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimakzulkan. Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Perbedaan yang terjadi dalam proses pemakzulan menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah dilakukan amandemen adalah bahwa setelah amandemen, proses pemakzulan harus melewati tahapan yang lebih panjang, yakni dengan adanya lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang namanya “Mahkamah Konsitusi”, lembaga mana tidak terdapat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen.Dengan adanya MK di maksud, menunjukkan bahwa di Indonesia dalam perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menganut sistem campuran, yaitu sistem “impeachment” dan “forum previlegiatum” seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. Moh.Mahfud MD (2007) sebagai berikut: “Jika digali dari berbagai konstitusi yang ada di dunia, secara teoritis cara penjatuhan Presiden dan/atau Wapres menurut UUD 1945 hasil amandemen menggunakan sistem campuran antara sistem impeachment dan sistem forum previlegiatum. Dengan impeachment dimaksudkan bahwa Presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan mekanisme yang ketat. Sedangkan forum previlegiatum adalah penjatuhan Presiden melalui pengadilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya adalah pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan putusan hukum pula” Dimaksudkan dengan sistem impeachment disini adalah penilaian dan keputusan politik di DPR, sedangkan forum previlegiatum dimaksudkan adalah pengadilan ketatanegaraan oleh MK. Jadi sebagaimana diuraikan di atas, UUD 1945 mengatur impeachment dalam dua tahap Proses impeachment di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan tidak mudah. “Impeachment itu secara konstitusional tidak mudah. Ini akan lama,” kata Mahfud MD menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela acara persiapan Reuni Akbar dan Musyawarah Nasional (Munas) Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di Hotel Jogyakarta Plaza di Jalan Affandi, Jum’at, 25 Desember 2009 (http://www.detiknews.com/read/2009/).
Sekarang mari kita lihat ketentuan impeachment dalam UUD 1945 (setelah diamandemen): Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (5), dan (7)(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat3) Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
 Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan./atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DewanPerwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskanusul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi  huruf tebal dan miring dari penulis, yang artinya bahwa pendapat tersebut harus dituangkan dalam bentuk “hak menyatakan pendapat” oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat UUD 1945 kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses “impeachment” diawali dengan adanya “usulan pemberhentian” dari DPR kepada MPR tentang adanya dugaan pelanggaran sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7B tersebut, yang terlebih dahulu harus dimintakan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dimaksud. “Usulan pemberhentian” dari DPR tersebut terkait dengan hasil dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:


Pasal 20A:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dengan demikian “usulan pemberhentian” DPR tersebut merupakan pelaksanaan dari hak DPR, yaitu hak “interpelasi”, “hak angket” atau “hak menyatakan pendapat” sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 terkait dengan pelaksanaan fungsi DPR yaitu fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (2) Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Namun demikian sebelum sampai pada adanya “usulan pemberhentian” Presiden dan/atau Wapres, terlebih dahulu DPR harus menggunakan “hak menyatakan pendapat” dari hasil pelaksanaan fungsi pengawasan terkait dengan pelaksanaan hak “interpelasi atau “hak angket”, di mana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) dan (4) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR, dan diputuskan dengan persetujuan oleh paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Apabila DPR memutuskan menerima usul hak menyatakan pendapat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 UU No. 27 Tahun 2009, DPR akan membentuk panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR, yang wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut.
Proses selanjutnya diatur dalam Pasal 187 UU No. 27 Tahun 2009 bahwa apabila DPR pada akhirnya memutuskan untuk menerima laporan panitia khusus yangmenyatakan bahwa memang telah terjadi pelanggaran, maka DPR dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, selanjutnya menyampaikan keputusan tentang menyatakan pendapat kepada MK (Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 187 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009).
Selanjutnya MK berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK) wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR itu diterima MK. Apabila MK ternyata memutuskan bahwa pendapat DPR tersebut terbukti, dalam arti memang telah terjadi pelanggaran hukum yang disangkakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 jo Pasal 188 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres kepada MPR. Apakah proses impeachment sudah selesai? Belum, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima usulan tersebut MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres yang dihadiri oleh sekurangkurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wapres diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR tersebut
















BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berangkat dari pembahasan tersebut diatas, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Setelah perubahan Undang undang Dasar 1945 sebanyak empat kali telah terjadi banyak perubahan terhadap kekuasaan Konstitusional Presiden Republik Indonesia. Pertama terjadinya pengurangan dibidang pembuatan undang undang yang dimana dalam kekuasaan pembutan undang undang ada ditangan DPR bukan lagi ditangan Presiden.
2. terjadi sedikit pengurangan dalam kekuasaan Hubungan Luar Negeri, yaitu dalam mengangkat duta, presiden memerhatikan pertimbangan DPR. Begitu juga dalam hal Presiden menerima penempatan duta negara lain, di mana presiden penempatan duta negara lain presiden memerhatikan pertimbangan DPR.
3. terjadi sedikit perubahan dalam hal kekusaan yudisial. Dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung( Pasal 14 ayat 1 ), sebelum perubahan berbunyi tidak ada kewajiban bagi presiden untuk meminta pertimbangan Keika akan memberi grasi dan rehabilitasi.begitu juga dalam  hal kekuasaan memberi amnesti dan abolisi, presiden memerhatikan pertimbangan DPR, sebelum perubahan, presiden tidak memerlukan pertimbangan dari DPR ketika akan memberi amnesti dan rehabilitasi.
4. terjadi sedikit pengurangan dalam hal kekuasaan presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan,. Setelah perubahan, diharuskan ketentuan tersebut diatur dalam undang undang. Padahal sebelum perubahan, ketentuan seperti itu tidak ada.
5. terjadi sedikit pengurangan kekuasaan presiden dalam hal pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian Negara. Sebelum perubahan, ketentuan seperti itu tidak diatur di dalam UUD 1945 yang dalam praktinya dianggap sebagai hak progeratif presiden dalam rangka menjalankan program program yang direncanakannya sebgaimana ia mempunyai kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri menteri Negara. Namun, setelah perubahan, hal tersebut tidakn bisa lagi dilakukan karena harus sesuai dengan undang undang yang mengatur hal tersebut.

6. setelah perubahan keempat presiden mendapat kekuasaan konstitusional tambahan untuk membentuk dean pertimbangan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden.
Ketujuh, setelah perubahan, presiden mendapatkan kekuasaan tambahan yaitu Mempunyai  kekuasaan untuk meresmikan anggota badan pemeriksa keuangan yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, menetapkan caalon hakim agung usulan dari momisi yudisial yang telah disetujui oleh DPR, serta mengusulkan 3 hakim konstitusi dan menetapkan sembilan hakim konstitusi yang masing masing disuulkan oleh tiga dari amhkamah agung, tiga dari DPR dan Tiga dari presiden sendiri.
B. Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 tersebut, maka ada lima jenis pelanggaran hukum yang dapat dijadikan dasar pemberhentian seorang Presiden Republik Indonesia. Kelima alasan itu adalah: 1. Penghianatan terhadap negara, 2) korupsi, 3) penyuapan, 4) tindak pidana berat lainnya; dan 5) perbuatan tercela. Selain pelanggaran hukum,
  B.  SARAN
Kepala negara dan atau kepala pemerintahan dalam sebuah negara memegang peranan sangat penting Untuk itu diperlukan posisi yang kuat dalam menjalankan tugas tugasnya. Akan tetapi jika kekuasaan tersebut tidak diimbangi dengan mekanisme cheks and balance, akan berubah menjadi petaka. Sejarah membuktikan betapa banyak para pemimpin di suatu negara yang mensengsarakan rakyatnya akibat kekuasaan tanpa kontrol kuat, misalnya presiden soeharto pada era orde baru, yang di mana menjadi seorang pemimpin yang otorite karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar pada waktu itu.






DAFTAR PUSTAKA

Ghoffar,Abdul.Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah perubahan UUD 1945 dengan dalapan negara maju. Jakarta: Kencana. 2009
Asshiddiqie, Jimly. Komentar atas undang undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. Jakarta :Sinarfa Grafika.2009
Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2010
Burdiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008
Gayo, Iwan. Buku Pintar. Jakarta : Upaya Warga Negara. 2000
Undang undang Dasar 1945 sesudah perubahan.








































[1] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 3


[2] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 9
[3] Dr.Nimatul Huda,S.H,M.Hum. ilmu negara. Hal 43
[4] Dr.Nimatul Huda,S.H,M.Hum. ilmu negara. Hal 40
[5] Dr.Nimatul Huda,S.H,M.Hum. ilmu negara. Hal 116
  Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 10
[6] http://seruankasih.wordpress.com/2012/07/29/kekuasaan-presiden-ri-sebelum-amandemen-uud-1945-tugas-mata-kuliah-sistem-politik-indonesia/.
[7] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 11
[8] http://saifulanam99.blogspot.com/2013/01/politik-hukum-kekuasaan-presiden-di.html
[9] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 11

[10] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 14

[11] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 13
[12] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 98
[13] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 13
[15] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 15
[16] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 106
http://news.okezone.com/read/2010/08/19/339/364714/gayus-dpr-harus-ikut-pertimbangkan-grasi
[17] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 14
[18] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 14
[19] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 112
[20] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 14
[21] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 113
[22] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 14
[23] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 114
[24] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 14

[25] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 120
[26] Undang undang Dasar 1945 sesudah perubahan.

No comments:

Post a Comment