BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kekuasaan
seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi
yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa
Indonesia telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS
1949, UUD Sementara Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden
tanggal 05 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945.
Keberlakuan
beberapa konstitusi tersebut dipastikan berpengaruh terhadap kekuasaan Presiden
Republik Indonesia. Secara garis besar, pada awal kemerdekaan berdasarkan
ketentuan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945 kekuasaan presiden sangat besar
karena memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, dan hanya dibantu oleh
sebuah Komite Nasional. Namun dalam praktiknya kekuasaan seperti itu hanya
bertahan selama dua bulan karena kemudian diterapkan sistem pemerintahan
parlementer. Sehingga presiden hanya sebagai kepala negara atau simbol saja,
sementara kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kondisi
seperti itu terus berlanjut pada masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD
Sementara Tahun 1950 karena dalam kedua konstitusi tersebut presiden hanya
sebagai kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban dalam
pemerintahan karena roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kemudian
ketika undang undang dasar 1945 berlaku kembali, presiden sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan berfungsi kembali sehingga memberikan peluang yang
besar bagi presiden untuk menjalankan kekuasaannya. Kekuasaan presiden RI
menurut UUD 1945 lebih besar dari kekuasaan presiden amerika serikat. Sebagai
contoh, presiden Amerika Serikat tidak mempunyai kekuasaan membentuk undang
undang sebagaimana yang dimilki oleh presiden RI. Presiden Amerika Serikat
hanya mempunyai kekuasaan memveto suatu rancangan undang undang.
Pada
perkembanganya selanjutnya UUD 1945 mengalami perubahan setelah lengsernya
presiden Soeharto pada 21 mei 1998 akibat protes yang bertubi tubi dan terus
menerus dari rakyat pada umumnya dan Mahasiswa pada khusunya. Setelah presiden
soharto lengser dari kursi kepresidenan, atas desakan beberapa elemen Masyarakt
MPR untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahapan.
Pada
perubahan tahap pertama telah terjadi perubahan dalam sembilan pasal di UUD
1945. Hal hal subtansif yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut : 1.
Terjadi pembatasan jabatan presiden. Sebelum dilakukan perubahan, ada peluang
seorang presiden dapat menjabat terus menerus sebagaiman yang dilakukan oleh
presiden Soeharto dan Soekarno, karena bunyi pasal tetang masa jabatan presiden
sangat terbuka untuk dilakukan
interpretasi. Sesudah perubahan tahap pertama, seorang Indonesia paling lama
menjabat sebagai presiden selama 10 tahun. 2. Adanya pembatasan kekuasaan
presiden dalam bidang legislatif, dalam perubahan tahap pertama di tegaskan
bahwa kekusaan legislatif berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sekalipun
demekian, presiden dapat mengajukan sebuah rancangan undang undang kepada DPR.
3. Adanya usaha membangun mekanisme cheks and balnces. Dalam perubahan yang
pertama ini, ada usaha untuk membangung checks and blances antar lembaga
legislatif, eksekutif dan yudisial.[1]
Semangat
perubahan UUD 1945 tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2000, terjadi
perubahan lagi yaitu tepatnya 18 Agustus 2000. Pada perubahan tahap kedua ini
ada 25 pasal yang mengalami perubahan dengan enam materi pokok, yaitu
menyangkut pemerintahan Daerah atau desentralisasi, wilayah Negara, kedudukan
warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, pertahan dan keaman negara, dan
menyangkut bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Dari
perubahan tersebut, ada dua hal yang paling mendasar mengalami perubahan, yaitu
: menyangkut pemerintahan daerah yang terdapat pada pasal 18.dalam pasal
tersebut ada penegasan yang kuat melalui konstitusi bahwa negara indonesia
menjamin di laksanakannya pemberiab otonomi yang luas kepada daerah.kedua
mengenai HAM’yang diatur dalam pasal 28.pasal ini mengalami penambahan jika di
lihat jumlah pasalnya dan sekaligus mengalami penegasan.
Pada
perubahan tahap ke 3 ini terjadiperubahan yang mendasar terhada UUD
1945,terkait dengan kedaulatan,perombakan parlemen,pemilihan presidan secara
langsung,membentuk lembaga baru yang bernama mahkama konstitusi dan mengatur
prosedur terhadap UUD. Pada Agustus 2002 MPR kembali melakukan perubahan tahap
ke 4.perubahan tersebut memfokuskan pada persoalan susunan MPR cara pemilihan
presiden,penyelesaian jika presidan mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak
bisa menjalankan kewajibannya,pemberian hak terhadap presiden untuk membentuk
suatu dewan pertimbangan presiden penghapusan dewan pertimbangan agung
serta,ketentuan mengenai indenpedensi bank indonesia selain itu pada perubahan
tersebut menetapkan batas minimal anggaran untuk biaya pendidikan sebanyak 20%
dari APBN serta adanya ketentuan yang mengharamkan perubahan pada bentuk negara
kesatuan repoblik indonesia.
Hasil
dari perubahan tersebut kalau di cermati terjadi pengurangan kekuasaan
presiden.pada perubahan tahap 1 dan tahap ke 2 ketentuan tersebut terjadi
perubahan yang sangat mendasar yakni pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945,menyatakan
presiden berhak mengajukan rancangan UUD kepada DPR.selanjutnya pada pasal 20
ayat 1 juga menegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentu UUD,sehinga
berdasarkan perubahan tahap 1 dan ke 2 UUD 1945,kekuasaan UUD itu di alihkan
dari presiden kepada DPR.
Selain
itu beberapa hak mutlak trcantum UUD 1945 setelah perubahan telah terjadi sedikit
pengurangan tersebut bisa dilihat adanya pelibatan DPR,baik harus mendapat
persetujuan DPR atau sekedar minta pertimbangan saja selain itu ada pula
pelaksanaan ditentukan oleh UUD dan temtunya melibatkan peran DPR.kekuasaan
mutlak presiden yang telah dikurangi adalah pengangkatan duta besar ,dan konsul
pemberian amnesti dan abolisme serta kewenangan perjanjian internasional.
Untuk itu maka perluh
dikaji secara mendalam bagaimana kekuasaan presiden sebelum dan sesudah
perubahan, bagaimana persamaan dan perbedaan kedudukan sebelum dan sesudah
perubahan serta akibat yang menyebabkan seorang presiden itu dapat
diberhentikan atau dilengserkan dari kedudukannya sebagai seorang presiden.
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat
dari latar belakang tersebut, maka masalah masalah yang dapat diindetifikasi
dan dirumuskan berkenaan dengan masalah pokok yang menyangkut kedudukan
presiden Republik Indonesi menurut Undang undang dasar 1945 Amandamen Terakhir adalah sebagai berikut
1. Bagaimana
Kedudukan presiden Republik Indonesia sebelum dan sesudah perubahan Undang
Undang Dasar 1945 ?
2. Bagaimana
Perbedaan dan persamaan Kedudukan presiden Republik Indonesia sebelum dan setelahPerubahan Undang Undang Dasar 1945 ?
3. Faktor
Faktor Apakah yang menyebabkan Presiden dapat di maksulkan atau Impeach menurut
ketentuan UUD 1945.?
C . TUJUAN
Adapun
tujuan dari hasil karya tulis ilmiah kami diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk
Mengetahui kedudukan presiden Republik Indonesia sebelum maupun sesudah
perubahan Undang undang Dasar 1945.
2. Untuk
mengetahui perbedaan dan persamaan dari Kedudukan Presiden Republik Indonesia
sebelum dan sesudah perubahan Undang undang Dasar 1945.
3. Untuk
mengetahui Faktor yang menyebabkan seorang presiden itu dapat di maksulkan atau
Impeach menurut ketentuan UUD 1945.
BAB II
KERANGA TEORI
A. Teori Sumber Kekuasaan
Banyak
teori yang menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi,
asal atau sumber kekuasan adalah dari tuhan. Teori ini berkembang pada zaman
abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini
adalah Agustiunus,Thomas Aquinas, dan Marsilius.[2]
Kemudian
J.J rousseau yang mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyrakat, yang
kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diberikan kepada
raja.penyerahan kekuasan disini sifatnya
bertingkat[3].
Sedangkan
menurut Thomas Hobbes penyerahan kekuasaan tersebut diserahkan oleh masing
masing orang langsung diserahkan kepda raja dengan melakukan perjanjian
masyrakat.[4]
B. Teori Kekuasaan
Negara
Teori kekuasaan negara sudah diperbincangkan sejak zaman
yunani kuno. Misalanya Plato dan Aristoteles, dua pemikir besar itu menyatakan
bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk
mendidik warganegaranya dengan nilai nilai moral yang rasional.[5]
Pada zaman pertengahan, dalam bentuk yang sedikit
berlainan, pemikiran ini muncul kembali. Para pemikir pada saat itu menyatakan
bahwa negara harus tunduk pada gereja. Negara adalah wakil gereja di dunia, dan
gereja adalah wakil tuhan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia.
Ada juga pemikiran yang memisahkan negara dari gereja.
Para pemikir baru ini lebih menjelaskan kekuasaan negara secara rasional dan
pragmatis. Misalnya, Thomas Hobbes yang menekankan pentingnya kekuasaan pada
negara, karena kalau tidak para warga negara akan saling berkelahi dalam
memperjuangkan kepengtingan negara.di sini mulai muncul hipotesis bahwa negara
merupakan wakil dari kepengtingan umum sedangkan masyarakat hanya mewakili
kepengtingan pribadi atau kelompok secara terpecah pecah.[6]
Akhirnya muncul Karl Marx yang memiliki tafsiran baru
tetang negara dan kekuasaan. Dia berpendapat kekuasaan adalah terciptanya
masyarakat sosial, bukan masyarakat demokratis[7].
Dia menunjukkan bahwa perjuangan kelas adalah motor penggerak sejarah. Negara,
setelah diambil oleh kelas buruh,memiliki kekuasaan yang besar untuk
merealisasikan masyarakat sosialis ini.
Miriam Budiardjo memberikan arti
kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang mempunyai kekuasaan itu[8].
Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari
atau bahkan menjadi rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti
sekarang ini. Hal itu di pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia
yang bermacam-macam sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas
orang lain.
C.Teori Pemisahan Kekuasaan
Teori
pemisahan kekuasaan, yang oleh immanuel kant di sebut sebagai doktrin Trias
Politika, Di kemukakan oleh Monstesquieu dalam bukunya L’esprit Des Loi. Dasar
pemikiran doktrin trias politika sudah pernah di kemukakan oleh aristoteles dan
kemudian juga pernan dikembangkan oleh Jhon Locke. Dengan begitu ajaran ini
bukan ajaran baru bagi Monstesquieu. Secara garis besar ajaran Monstequieu
sebagai berikut.
Pertama,
Terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena
monstesquei hidup dalam kondisi dan politik tertekan di bawah kekuasaan Raja
Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut Kedua,
jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahan antara
kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Monstequieu tidak membenarkan
jika kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena di khawatirkan akan
melaksanakan pemirintahan tirani Ketiga,
kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini di maksudkan
agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara.[9]
Melihat pendapat yang dikemukakan oleh monstesquie dalam
teori pemisahan tersebut diatas maka kami berkesimpulan bahwa setiap kekuasaan
itu harus diserahkan kepada bidangnya masing masing, agar tercipta kesimbangan
antara tiga lembaga tersebut.
D. lembaga
Kepresidenan
Berangkat
dari teorinya Montesquieu, ada tiga lembaga dalam sebuah negara dalam rangka
menjalankan kekuasaan yang dimiliki oleh negara dalam rangka menjalankan
kekuasaan yang dimiliki oleh negara yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif,
dan lembaga yudkiatif atau yudisial. Meksipun ada tiga lembaga negara, akan
tetapi dalam karya tulis ilmiah kami hanya akan dikaji satu lembaga yaitu
kepresidenan, karena karya tulis ilmiah kami berkaitan denga kekuasaan
eksekutif yang ada di Indonesia. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengkaji
secara teoritis lembaga eksekutif.
a.
Jabatan presiden
Menurut
tata bahasa, kata presiden adalah derivative dari to preside yang artinya
memimpin atau tampil di depan. Kalau dicermati dari bahasa latin, yaitu prae
yang artinya di depan dan sedere yang berrti menduduki.
Presiden
adala suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, perusahaan,
perguruan tinggi, atau negara. Pada awalanya, istilah ini digunakan untuk
sesorang yang memimpin suatu acara atau rapat; tapi kemudian secara umum berkembang
menjadi istilah untuk seseorang yang memiliki kekuasaan eksekutif. Lebih
spesifisiknya, istilah presiden terutama digunakan untuk kepala negara bagi
negara.
b. Peran utama seorang presiden
Dalam
kaitannya dengan peran utama seorang presiden maka kami mencoba untuk melihat
bagaimana peran utama seorang presiden di amerika serikat, sebuah negara yang
pertama kali memperkenalkan jabatan seorang presiden kepada dunia.
Menurut
Clinton Rossiter mencatat ada sedikitnya lima perang utama seorang presiden di
amerika yaitu : 1. Presiden adalah kepala negara. Posisi sebagai kepala negara
menurut kami adalah sebagai lambang dari sebuah negara, misalnya Dia menyambut
tamu tamu penting dari segala bagian dunia, 2. presiden sebagai kepala
ekesekutif atau pemerintahan, 3. Presiden sebagai diplomat utama, 4. Presiden
sebagai legislator utama dan kelima persiden sebagai panglima tertinggi.[10]
Melihat
pendapa Clinton Rossiter yang kami ambil dari salah literatur kami dalam
menyusun karya ilmiah ini, maka kami berasumsi bahwa pendapat yang di kemukakan
oleh Clinton Rossiter mengenai peran utama presiden di amerika memilik kesamaan
denga peran utama presiden di Indonesia.
BAB
III
PEMBAHASAN
1.
Kedudukan Presiden RI sebelum dan sesudah Perubahan Undang undang Dasar 1945
A. Kekuasaan Penyelenggaraan
Pemerintahan
Presiden
republik indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang undang Dasar.
Demekian bunyi pasal 4 ayat 1 Undang undang dasar 1945. [11]Pasal
tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan baik sebelum dan sesudah
diamandemen.Menurut Harun Kamil, Pimpinan rapat ke 1 PAH III badan pekerja MPR,
pasal 4 ayat 1 tersebut tidak perlu diadakan perubahan karena yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan dalam pemerintahan bukan isi dari pasal tersebut, akan
tetapi karena adanya beberapa TAP TAP MPR yang memberikan kewenangan di luar
pasal tersebut serupa juga terjadi pada pasal 4 ayat 2 yang tidak mengalami
perubahan. Pasal tersebut berbunyi, dalam melakukan kewajibannya presiden
dibantu oleh satu orang wakil presiden.[12]
Menurut Kami Mengenai pasal 4 yang tidak
mengalami perubahan karena pada pasal 4 UUD 1945 ayat 1 dan 2 itu merupakan
kekuasaan eksekutif, penyelengaraan pemerintahan yang dilaksankan oleh presiden
dan dibantu oleh wakil presiden, oleh karena itu tidak perlu lagi melakukan
perubahan karena ini memang tugas dan wewenag dari badan ekesekutif. dan ini
juga sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Monstequei.
B. Kekuasaan
di bidang perundang undangan
1. Kekuasaan mengajukan Rancangan Undang
undang dan membahasanya bersama DPR.
Berdasarkan
passal 5 Undang Undang Dasar 1945 sebelum perubahan presiden memegang kekuasaan
membentuk Undang undang dengan setujuan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). [13]Namun,
setelah perubahan kekuasaan membentuk Undang Undang dipegang oleh DPR sebagaimana
yang diatur dalam pasal 20 ayat 1 Undang undang Dasar 1945 setelah perubahan.
Secara tegas pasal tersebut mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang
undang Meksipun begitu presiden tetap mempunyai hak untuk mengajukan rancangan
undang undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat tetapi, khusunya mengenai
rancangan Undang undang tetang anggaran pendapatan dan belanja negara, hanya
presiden yang mempunyai kekuasaan untuk mengajukan rancangannya.DPR dan DPD
tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan rancangan mengenai hal tersebut[14].
Menurt
kami melihat perubahan pada pasal diatas maka kami berpendapat bahwa telah
terjadi pergeseran dalam kekuasaan untuk membentuk undang undang atau kekuasaan
legislatif dari tangan presiden ke DPR. Meskipun pembahasan harus dilakukan
secara bersama untuk mendapat persetuuan bersama, setiap rancangan UU harus
disahkan lebih dahulu oleh presiden untuk menjadi undang undang, tetapi
pemegang asli kekuasaan itu pada dasarnya telah bergeser dari tangan presiden
ke DPR.
Segala
macam rancangan undang undang harus dibahas bersama dengan presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Jikaa rancangan undang undang tersebut tidak
mendapatkan persetujuan bersama, maka rancangan undang undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakya masa itu
Setiap
rancangan undang undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan
presiden harus mendapat pengesahan presiden. Namun, jika rancangan undang
undang yang telah mendapat persetujuan bersama tersebut dalam 30 hari sejak
mendapat persetujuan bersama tersebut tidak mendapat pengesahan dari presiden,
maka rancangan undang undang ini sah menjadi undang undang ( pasal 20 ayat 5 )
2. Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah
sebagai pengganti Undang undang.
Ketentuan
pasal 22 ayat 1 UUD 1945 tidak mengalami perubahan.pasal tersebut tetap
berbunyi: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berkhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang.[15]
Di dalam penjelasan pasal 22 UUD 1945 sebelum perubhan dijelaskan sebgai
berikut :
Pasal
ini mengenai noodverordeningsrech presiden aturan sebagai ini memang perlu
diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah tidak
akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena, peraturan
peraturan dalam pasal in, yang kekuatannya sama dengan undang unang harus
disahkan pula oleh dewan perwakilan rakyat.
Menurut
Bagir Manan, penafsiran maupun pertimbangan pertimbangan subjektif dari
presiden dalam menerjemahkan kegentingan yang memaksa tersebut akan bahaya jika
tidak diberikan batasan batasan ruang lingkup atau kriteria objektif tetang hal
tersebut. Bagir Manan seppakat jika pengertian mengenai kegentingan yang
memaksa sebagai suatu keadaan kedaruratan dan tidak hanya terbatas pada ancaman
bahaya atas keamanan , keutuhan negara atau ketertiban umum. Selain itu dapat
juga dimasukkan tertjadinya krisis krisis ekonomi, bencana alam atau keadaan
lain yang memerlukan pengaturan setingkat dengan undang undang. Dapat juga di
masukkan terjadinya kekosongan undang undang yang mendesak untuk diaddakan atau
penagguhan penerapan suatu undang undang yang dikhawatirkan akan menimbulkan
keguncangan atas ketertiban umum atau melukai rasa keadilan.
Meksipun
begitu tetap pertimbangan subjektif presiden adalah penentu dari keluarnya
perpu tersebut. Pertimbangan subjektif seperti ini dikhawatirkan oleh berbgai
pihak akan disalahgunakan oleh presiden.
Terhadap
hal tersebut kami kurang sepakat. Karena ketentuan UUD 1945 jelas membedakan
antara perpu dan undang undang. Udang undang sebagai produk yang dikeluarkan
dalam keadaan biasa, sementara perpu dikeluarkan dalam keadaan tidak biasa.
Dalam keadaan biasa sesuai dengan penjelasan pasal 22 UUD 1945 sebelum
perubahan, maka jelas sekali produk hukum tersebut diadakan untuk mengatasi sebuah
persolan dengan cepat. Agar kekhawatiran terjadinya tidakan kesewenag wenangan
yang dilakukan oleh presiden dengan mengeluarkan perpu yang menyengsarakan
rakyat bisa di minimalisir maka harus dibuat suatu undang undang yang
menjelaskan maksud dari dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa itu apa, serta kondisi kondisi seperti apa perpu
tersebut dikeluarkan.
3. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang undang sebagaimana
mestinya.Demekian bunyi pasal 5 ayat 2 Undang undang Dasar 1945 yang tidak
mengalami perubahan.Peraturan pemerintah bisa dibuat berdasarkan perintah dari
undang undang delegasi atau berdasarkan
pertimbangan presiden untuk melaksanakan undang undang.
Menurut
Bagir Manan, dalam hal tidak ada perintah tegas dari undang undang, presiden
bebas memilih bentuk peraturan lain seperti keputusan presiden yang mengatur
.sekarang namanya berganti peraturan presiden, kecuali apabila hal tersebut
akan melanggar asas asas umum peraturan perundang undangan yang baik atau
pembatasan teknis lainnya, misalnya larangan pemuatan pidana. Karean PP
ditetapkan untuk melaksanakan UU, maka materinya jangan sampai berseberangan
dengan materi muatan undang undang.
C. Kekuasaan di bidang Yudisial
Menurut
ketentuan pasal 14 Undang undang Dasar 1945 sebelum perubahan presiden
mempunyai kewenangan untuk memberi grasi,amnesti abolisi dan rehabilitasi.
Namun setelah perubahan Undang undang Dasar 1945 ketentuan tersebut sedikit
mengalami perubahan yaitu dalam hal memberi garsi dan amnesti,presiden
memerhatikan pertimbanagn Mahkamah Agung dan dalam hal memberi amnesti, dan
abolisi, serta presiden juga memerhatikan pertimbangan DPR.
Menurut
pasal 1 angka 1 UU No 22 tahun 2002 tetang Grasi adalah pengampunan berupa
perubahan,peringatan,pengurangan,atau penghapusan pelaksanaan pidanana kepada
terpidana yang di berikan oleh presiden.
Menurut
T gayus lumbun, amneti adalah bentuk pengampuna yang diberikan oleh presiden
sebagai pengampunan penghapusan hak penuntutan dari penuntut umum sehingga
sesorang atau sekelompok tersangka tindak pidana tidak perlu dilakukan
penuntutan hukum.Amnesti ini diberikan melalui pernytaan umum oleh kepala
negara kepada pelaku tinak pidana.[16]
Menurut
kami mengapa pasal 14 UUD 1945 mengalami perubahan karena untuk membatasi
kekuasaan presiden agar tidak bertindak sewenang wenang apalagi yang
berhubungan denga pemberian amnesti,garsi, abolis dan rehabilitasi yang rawan
dengan penyimpangan.
D. Kekuasaan dalam hubungan
luar negeri
Menurut
bagar Mannan, hubungan dengan luar negeri adalah masuk dalam kekuasaan asli
eksekutif. Hanya eksekutif yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan setiap
bentuk atau inisiatif hubungan luar negeri.
Dalam
UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan menetapkan beberapa jenis
hubungan luar negeri yaitu mengadakan perjanjian dengan negara lain, Menyatakan
perang dengan negara lain, mengangkat duta dan konsul untuk negara lain dan
menerima duta dan konsul negara lain.
1. Kekuasaan mengadakan
perjanjian dengan negara lain
Ada
sedikit perubahan dalam ketentuan pasal 11 Undang undang Dasar 1945 yang
mengatur mengenai perjanjian internasional. Perubahan tersebut berupa
penambahan dua ayat pada pasal tersebut sehingga menjadi 3 ayat, isisnya pada
ayat 1 itu sama dengan bunyi pasal 11 undang undang Dasar 1945 sebelum
perubahan yaitu: presiden dengan persetujuan dewan perwakilan Rakyat menyatakan
perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.[17]
Ayat 2 menyatakan presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang unang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ayat 3 berbunyi
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang
undang
2. Kekuasaan menyatakan perang
dengan negara lain
Presiden
sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam pasal 11 Undang undang Dasar
1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan mempunyai kewenangan menyatakan
perang dengan negara lain. Secara esensial pasal 11 Undang undang Dasar 1945,
terutama yang berkaitan dengan pengaturan perang dengan negara lain, tidak
mengalami perubhan secara signifikan, dari dahulu sampai sekarang presiden
tetap membutuhkan persetujuan DPR.
Karena menurut kami itu sesuatu yang wajar jika perang memerlukan
persetujuan DPR karena membawa konsekuensi yang angat besar bagi kehidupan
bangsa dan negara, baik dari ketatanegaraan, politik, perekonomian, maupun pertahan
keamanan.
3. Kekuasaan mengadakan
perdamaian dengan negara lain
Sesuai
pasal 11 Undang undang Dasar 1945, presiden mempunyai kekuasaan untuk membuat
perdamain tidak boleh diartikan hanya sebagai cara mengakhiri suatu permusuhan
perang yang telah atau sedang terjadi. Pengertian perdamaian di sini termasuk
memelihara atau mempertahankan perdamaian, memasuki suatu fakta pertahanan
untuk menciptakan atau memilhara perdamain. Perjanjian perdamaian dalam rangka
mengkhakiri secara de jure suatu peperangan atau permusushan, tidak hanya
terbatas pada penghentian permusuhan, tetapi mencakup juga hal hal lain seperti
soal tawanan, ganti rugi akibat peperangan, dan lain sebagainya. Dalam hal
membuat perjanjian perdamaina, presiden wajib minta persetujuan DPR.
4. Kekuasaan mengangkat dan
menerima duta dan konsul
Pasal
13 Undang undang Dasar 1945 yang menjadi dasar kewarganegaraan presiden
mengangkat duta dan konsul serta menerima duta dan konsul sedikit mengalami
perubahan. Sebelum perubahan kewenangan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh
presiden tanpa ada pertimbangan dari lembaga negara lainnya. Namun,setelah
perubahan Undang undang Dasar dalam hal mengangkat duta dan menerima duta negara
lain presiden diharuskan memerhatikan pertimbangan DPR.
E. Kekuasaan menyatakan
keadaan bahaya
Berdasarkan
pasal 12 Undang undang dasar 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali,
presiden mempunyai kewenangan untuk menyatakan kedaan bahaya. Pasal tersebut
berbunyi : presiden menyatakan keadaan bahaya. Sayrat syarat dan akibatnya
keadaan bahaya diatur dalam undang undang.[18]
Dengan
merujuk pada ketentuan pasal tesebut, maka dalam meyatakan negara dalam keadaan
bahaya, presiden tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan
Perwakilan Rakyat. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dalam
undang undang, yang berarti memerlukan persetujuan DPR.
Menurut
Suwoto Mulyo Sudarmo, dalam keadaan negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, presiden
memiliki peluang yang besar dalam memainkan peranannya. Dalam praktek
kenegaraan, jika perlu presiden dapat bertindak secara inkonstitusional[19]
Menurut
kami juga setuju dengan pendapat ahli diatas yaitu suwoto mulyo sudarmo, dengan
alasan karena dalam keadaan bahaya suatu negara maka tidankan presiden itu adalah
sah dan dapat dibenarkan dan tidak perlu untuk meminta pertimbangan dari DPR
karena itu dalam keadaan gawat, oleh sebab itu tidak perlu diadakan perubahan.
F. Kekuasaan sebagai
pemegang tertinggi dalam angkatan bersenjata
Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara. Demekian bunyi pasal 10 Undang undang Dasar 1945 [20]yang
tidak mengalami perubahan.[21]
Dari ketentuan tersebut, maka kepolisian tidak termasuk sebagai angkatan perang
atau bersenjata. Tetapi pada era sebelum reformasi , berdasarkan pasal 3 undang
undang no 13 tahun1961 angkatan kepolisian dinyatakan sebagai angkatan
bersenjata Republik Indonesia.
G. Kekuasaan memberi gelar
dan tanda kehormatan lainnya
Kekuasaan
presiden dalam hal memberikan gelar,tanda jasa, dan tanda kehormatan diatur
dalam pasal 15 Undang undang Dasar 1945. Sebelum perubahan pasal tersebut
berbunyi presiden memberi gelaran, tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan[22].
Namun pada perubahan pasal tersebut mengalami sedikit perubahan menjadi
presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain lain tanda kehormatan yang diatur
dalam undang undang[23].
Ternyata
perintah diatur lebih lanjut dengan undang undang sebagaimana terdapat dalam
pasal 15 UUD 1945 setelah perubahan sampai sekarang belum dibuat. Menurut
daftar program legislasi nasional yang dikeluarkan oleh DPR, rancangan undang
undang pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya menepati
urutan ke 37 daftar antri, yang akan diprioritasikan pda tahun 2007. Sehingga
dipakai saat ini ( juli 2007 ) adalah berbagai peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan pemberian bintang dan satyalencana.
Tanda
jasa bintang diberikan kepada orang yang berjasa luar biasa kepada bangsa
negara. Sedangkan tanda jasa satyalencana diberikaan kepada orang yang berjas
besar pada bangsa atau negara.
Menurut
kami perubahan pada ini hanya perubahan
kata saja yang sebelumnya memakai kata gelaran berubah menjadi gelar mengapa
karena kata gelaran mengandung makana yang sempit sedangkan gelar memiliki arti
yang lebih luas.
H. Kekuasan membentuk dewan
pertimbngan presiden
Sebelum
perubahan undang undang dasar 1945, berdasarkan pasal 16 DPA adalah lembaga
negara yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam
kedudukan sejajar, karena sama sama lembaga tinggi negara. Namun, presiden
tidak terkait dengan nasihat dari pertimbangan itu[24].
Hal tersebut dianggap keberadaan Dewan Pertimbangan Agung tidak efektif dan efesien. Demekian pula mekanisme
penetapan pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung sehingga ketika presiden
membutuhkan nasihat tidak dengan serta merta bisa diberikan.
Sekarang
lembaga tersebut tinggal kenangan, karena pasal 16 undang undang dasar 1945
sudah tidak mengatur Dewan Pertimbangan Presiden. Selengkapnya pasal tersebut
berbunyi presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada presiden,yang selanjutnya diatur dalam undang
undang
I. Kekuasaan mengangkat dan
memberhentikan menteri menteri.
Setelah
perubahan Undang undang dasar 1945 pasal 17 mengalami sedikit perubahan. Jika
sebelum perubahan, presiden bebas melakukan pembentukan, pengubahan dan
pembubaran kementrian negara, maka setelah perubahan Undang undang dasar 1945
hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan serta merta,karena semua itu diatur
dalam undang undang.
itu
artinya, untuk melakukan pembentukan pengubahan dan pembubaran kementrian
negara, presiden memerlukan persetujuan DPR. Namun dalam urusan pengangkatan
dan pemberhentian menteri menteri, presiden bebas melakukan kapan saja tanpa
harus meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga lainnya.
J. Kekuasaan mengangkat,
menetapkan atau meresmikan pejabat pejabat negara lainnya
Setelah
perubahan Undang undang dasar 1945, presiden Republik Indonesia juga mempunyai
beberapa konstitusional dalam hal pengangkatan pemberhentian penetapan maupun
peresmian pejabat pejabat negara di antaranya itu yang tertuang dalam pasal 23
F yang berbunyi presiden mempunyai kekuasaan konstitusional untuk meresmikan
Badan Pemeriksa keuangan yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.[25]
Kedua berdasarkan pasal 24 ayat 3 UUD 1945 Presiden mempunyai kekuasaan untuk
menetapkan calon Hakim agung usulan dari komisi yudisial yang telah di setujui
DPR. Berdasarkan pasal 24 B ayat 3 UUD 1945 presiden mempunyai kekuasaan untuk
mengangkat dan meberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan DPR,
dan keempat berdasarkan pasal 24 C UUD 1945 presiden juga mempunyai kekuasaan
untuk mengusulkan 3 hakim konstitusi dan menetapkan sembilan hakim konstitusi
yang diusulkan masing masing tiga dari mahkama agung, tiga dari DPR, dan tiga
dari Presiden.[26]
2. Perbedaan dan Persamaan Kedudukan Presiden
Republik Indoneisa Sebelum dan Sesudah Perubahan Undang Undang Dasar 1945.
Undang Undang Dasar 1945
|
Sebelum Perubahan
|
Sesudah Perubahan
|
Pasal
4
|
1.Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang undang Dasar
2.
Dalam melakukan kewajibannya presiden di bantu oleh satu orang wakil presiden
|
1. presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang undang Dasar
2.
Dalam melakukan kewajibanya presiden di bantu oleh satu orang wakil presiden.
|
Pasal
5
|
1.
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat
2.
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang undang
sebagaimana mestinya
|
1.
Presiden Berkhak mengajukan rancangan undang undag kepada dewan perwakilan
rakyat.*)
2.
Presiden menetapkan peraturan undang undang sebagaimana mestinya.
|
Pasal
10
|
Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan
udara
|
Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan
udara
|
Pasal
11
|
Presiden
dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
|
1.
Presiden dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.****)
|
|
|
2.
Presiden membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.***)
3.
ketentuan lebih lanjut tetang perjanjian internasional diatur dengan undang
unang.***)
|
Pasal
12
|
Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang undang.
|
Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang undang.
|
Pasal
13
|
1.
Presiden mengangkat duta dan konsul
2.
Presiden menerima duta negara lain
|
1.
Presiden mengangkat duta dan konsul
2.
Dalam hal mengangkat duta presiden memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.*)
3.
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memerhtikan pertimbangan
Dewan Perwakilann Rakyat.*)
|
Pasal
14
|
1.
Presiden memberi grasi, amnesti,abolisi dan rehabilitasi.
|
1.
Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan
Mahkama Agung.*)
2.
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.*)
|
Pasal
15
|
1.
Presiden Memberi gelaran,tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan.
|
.
Presiden Memberi gelar,tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan yang diatur
dengan undang undang.*)
|
Pasal
16
|
1.
Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang undang.
2.
Dewan ini berkewajiban atas pertanyaan presiden dan berhak memajukan usul
kepada pemerintah
|
1.
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang
undang.****)
|
Pasal
17
|
1.presiden
di bantu oleh menteri menteri negara
2.
Menteri menteri negara itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden
3.Menteri
menteri itu memimpin Departemen Pemerintah
|
1.
presiden di bantu oleh menteri menteri negara
2.
Menteri menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.*)
3.
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.*)
4.
Pembentukan Pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang
undang.***)
|
Pasal
20
|
1.
Tiap tiap undang undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2.
Jika suatu rancangan undang undang tidak mendapat persetujuan Dewan
perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
|
1.
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasan membentuk undang undang.*)
2.
Setiap rancangan undang undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
presiden untuk mendapat persetujuan bersama.*)
3.
jika rancangan undang undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat
4.
Presiden mengesahkan rancangan undang undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang undang
5.
dalam hal rancangan undang undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh tahun hari semenjak rancangan
undang undang tersebut sah menjadi undang undang dan wajib diundangkan.**)
|
Pasal
21
|
1.Anggota
angita dewan perwakilan berkhak
mengajukan rancangan undang undang.
2.
jika rancangan itu,meskipun disetujui oleh dewan perwakilan rakyat, tidak
disahkan oleh presiden, maka rancangan itu tidak boleh dimajukan dalam
persidangan dewan perwakilan rakyat masa itu.
|
1.
Anggarn Dewan Perwakilan Rakyat berkhak mengajukan usul rancangan undang
undang.
|
Pasal
22
|
1.
Dalam hal ihwal kegentinganyang memaksa, presiden berkhak menetapkan praturan
pemerintah sebagai pengganti undang undang.
2.
peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan dewan perwkilan rakyat
dalam persidangan berikutnya.
3.
jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus di cabut
|
1.Dalam
hal ihwal kegentinganyang memaksa, presiden berkhak menetapkan praturan
pemerintah sebagai pengganti undang undang.
2.
peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan dewan perwkilan rakyat
dalam persidangan berikutnya.
3.
jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus di cabut
|
Pasal
23
|
1.
anngaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap tiap tahun dengan undang
undang. Apabila rakyat tidak menyetujui undang undang yang diusulkan
pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
2.
segala pajak untuk keperluan negaara berdasarkan undag undang.
3.
macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang undang.
4.hal
keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang undang
5.
Untuk memeriksa tanggung jawab tetang keuangan negara diadakan suatu baan pemeriksa
keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang undang hasil pemeriksa
itu diberitahukan kepada dewan perwakilan rakyat.
|
1.
anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang undang dan dilaksanakn
secara terbuka dan bertanggung jwab untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat.***)
2.
Rancangan undag undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan
pertimbangan dewan perwakilan daerah.***)
3.
apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden, pemerintah
menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara
|
Pasal
23 F
|
-
|
1.
anggota badan pemriksa keuangan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat dengan
memerhatikan pertimbangan dewan perwakilan daerah dan diresmikan oleh
presiden.***)
2.
pimpinan badan pemeriksaan keuangan dipilih dari dan oleh anggota.***)
|
Pasal
24 A
|
-
|
3.
Calon hakim agung diusulkan komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim angung
oleh presiden.***)
|
Pasal
24 B
|
-
|
3
presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat dan meberhentikan anggota
komisi yudisial dengan persetujuan DPR.***)
|
Pasal
24 C
|
-
|
3.presiden
juga mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan 3 hakim konstitusi dan menetapkan
sembilan hakim konstitusi yang diusulkan masing masing tiga dari mahkama
agung, tiga dari DPR, dan tiga dari Presiden.***)
|
Keterangan
*)
Perubahan pertama ***) Perubahan Ketiga
**)
perubahan kedua
****) Perubahan Keempat
3.
Faktor Faktor Apakah Yang menyebabkan Presiden dapat di maksulkan atau Impeachmen
menurut ketetntuan UUD 1945. ?
Sebelum
membahas mengenai pemakzulan atau impeachment menurut UUD 1945, ada
baiknya terlebih dahulu membahas mengenai makna sebenarnya dari “pemakzulan”
atau “impeachment” itu. Kita sering bertanya-tanya apa sih sebenarnya
arti kata pemakzulan itu. Dr. Harjono, S.H., M.CL1) dalam situs http://id.wikisource.org, mengatakan: “Banyak pihak yang
memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau
dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment
sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih
menitikberatkan pada prosesnya dan tidak
mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi
negara lain dari jabatannya”. Dengan demikian impeachment sebenarnya
baru merupakan tahapan awal dari proses untuk memberhentikan atau menurunkan
Presiden atau pejabat tinggi negara lainnya, meskipun proses tersebut belum
tentu berakhir dengan pemberhentian atau pemecatan Presiden atau pejabat tinggi
negara bersangkutan.
Senada
dengan hal di atas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie) dalam detiknews.com menjelaskan, pemakzulan sebagai mekanisme
penuntutan tanggung jawab presiden dan atau wakil presiden tidak selalu
berujung pada pencopotan.
Presiden
dan atau wakil presiden yang terbukti melanggar hukum lewat persidangan di
Mahakamah Konstitusi (MK) tidak otomatis bisa dicopot jabatannya”. Jelaslah
bahwa dari beberapa pengertian tersebut
di atas, kami berpendapat bahwa “impeachment”
merupakan proses peradilan terhadap pejabat negara yang diduga melakukan
pelanggaran hukum, dan tidak mesti berkhir dengan “jatuhnya” pejabat
bersangkutan. Impeachment itu sendiri baru merupakan tahap awal dari dua
tahap yang harus dilalui untuk sampai pada putusan apakah pejabat tersebut
harus diberhentikan atau tidak, sistem yang juga dianut oleh Indonesia. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah:
“Bagaimanakah sebenarnya perkara pemakzulan atau impeachment tersebut
diatur di negara kita?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita kembalikan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 (sebelum maupun sesudah
diamandemen) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam
UUD 1945 sebelum diamandemen, tidak terdapat dalam Batang Tubuh pasal-pasal nya
yang secara “letterlijk” memuat mengenai pemakzulan atau impeachment.
Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menanggapi pendapat Prof. Dr Harun Al- Rasyid yang menyatakan bahwa
UUD 1945 tidak mengenal lembaga yang namanya “impeachment”:
“Saya mengatakan betul, karena “impeachment”
itu bahasa Inggris. Tetapi, baik menurut kamus bahasa Inggeris maupun kamus-kamus hukum, ‘to impeach’ itu artinya
memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban.
Dalam hubungan dengan kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, ‘impeachment’ berarti pemanggilan atau
pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban
atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya. Hampir semua konstitusi mengatur soal ini
sebagai cara yang sah dan efektif untuk
mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan
konstitusi” Memang benar seperti yang
dinyatakan oleh kedua pakar hukum tersebut bahwa UUD 1945 tidak memuat dalam pasal-pasalnya kata pemakzulan, namun
demikian kalau kami mencermati di dalam
Penjelasannya, seperti yang juga dikatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dinyatakan bahwa: “ Oleh karena itu, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat senantiasa
mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar
atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa
diminta pertanggungan jawab kepada
Presiden”. Dari
Penjelasan UUD 1945 tersebut jelaslah
bahwa UUD 1945 sebenarnya memuat mengenai
pemakzulan, yang prosesnya melalui “Sidang Istimewa” MPR dan hanya ditujukan kepada seorang Presiden. Jadi di dalam
Batang Tubuh atau Pasalpasalnya tidak secara “letterlijk”
memuat hal tersebut. Tetapi kita mengetahui bahwa UUD 1945 adalah terdiri dari: Pembukaan, Batang Tubuh, dan
Penjelasan, di mana ketiga bagian tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Di samping itu dari berbagai
literatur, diketahui bahwa hampir semua konstitusi negara mengatur permasalahan
“pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan efektif
untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi
agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournement de
pouvoir) dan tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku
sesuai dengan prinsip prinsip rule of law, Pancasila, dan UUD
1945.Sekarang bagaimana perkara tersebut mendapatkan pengaturan dalam UUD 1945 setelah
diamandemen? Mari kita lihat bersama. Kita mengetahui bahwa setelah diamandemen,
UUD 1945 tidak lagi mempunyai penjelasan. Di dalam Pasal II Aturan Tambahan
dinyatakan: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Pembukaandan
pasal-pasal”. Dari bunyi pasal tersebut, nyatalah bahwa UUD 1945 kita
sekarang tidak lagi mempunyai Penjelasan (selanjutnya penulis tidak
membahas mengapa Penjelasan UUD 1945 dihapus).
Mungkin akan timbul pertanyaan lagi: “Di mana diaturketentuan
mengenai pemakzulan – yang tadinya diatur di dalam Penjelasan – setelah Penjelasan
tersebut dihapus? Di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, proses pemakzulan
diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai
kandungan Pasal-pasal tersebut, mari kembali pada ketentuan Pasal 6A UUD 1945
yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dari isi Pasal 6A tersebut, mungkin
akan timbul pertanyaan: “Apakah mungkin Presiden dan Wakil Presiden
yang dipilih oleh rakyat secara berpasangan tersebut dapat dimakzulkan secara
masing-masing? Atau apabila Presiden atau Wakil Presiden kemudian ternyata
terbukti melakukan pelanggaran apakah mereka berdua harus dimakzulkan,
karena mereka dipilih dalam satu pasangan?” untuk menjawab
pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus menggunakan logika berpikir
bahwa apakah mungkin apabila seseorang bersalah maka orang lain yang tidak
bersalah juga harus menanggung kesalahan itu?
Karena apabila demikian maka itu berarti mendzolimi orang yang
tidak bersalah dan tujuan dari hukum untuk memberikan keadilan tidak akan
tercapai. Demikian juga dalam hal apabila Presiden atau Wakil Presiden yang
melakukan kesalahan, maka pasangannya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kesalahan yang diperbuat oleh masing-masing pasangannya tersebut, meskipun
mereka dipilih dalam satu pasangan. Pasal 7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dari ketentuan tersebut nyatalah bahwa
Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya baik secara
sendiri-sendiri maupun secara bersamaan.
Di samping itu pasal tersebut mengatursecara limitatif jenis
pelanggaran apa yang dapat menyebabkan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat dimakzulkan. Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Perbedaan yang terjadi dalam proses
pemakzulan menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah dilakukan amandemen adalah
bahwa setelah amandemen, proses pemakzulan harus melewati tahapan yang lebih
panjang, yakni dengan adanya lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang
namanya “Mahkamah Konsitusi”, lembaga mana tidak terdapat dalam ketentuan UUD
1945 sebelum diamandemen.Dengan adanya MK di maksud, menunjukkan bahwa di
Indonesia dalam perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menganut
sistem campuran, yaitu sistem “impeachment” dan “forum previlegiatum”
seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. Moh.Mahfud MD (2007) sebagai berikut: “Jika
digali dari berbagai konstitusi yang ada di dunia, secara teoritis cara penjatuhan
Presiden dan/atau Wapres menurut UUD 1945 hasil amandemen menggunakan sistem
campuran antara sistem impeachment dan sistem forum previlegiatum.
Dengan impeachment dimaksudkan bahwa Presiden dijatuhkan oleh
lembaga politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat melalui penilaian dan
keputusan politik dengan syarat-syarat dan mekanisme yang ketat. Sedangkan forum
previlegiatum adalah penjatuhan Presiden melalui pengadilan khusus ketatanegaraan
yang dasarnya adalah pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam
konstitusi dengan putusan hukum pula” Dimaksudkan dengan sistem impeachment disini
adalah penilaian dan keputusan politik di DPR, sedangkan forum previlegiatum
dimaksudkan adalah pengadilan ketatanegaraan oleh MK. Jadi sebagaimana
diuraikan di atas, UUD 1945 mengatur impeachment dalam dua tahap Proses impeachment
di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan tidak mudah. “Impeachment itu
secara konstitusional tidak mudah. Ini akan lama,” kata Mahfud MD menjawab
pertanyaan wartawan di sela-sela acara persiapan Reuni Akbar dan Musyawarah
Nasional (Munas) Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di Hotel
Jogyakarta Plaza di Jalan Affandi, Jum’at, 25 Desember 2009 (http://www.detiknews.com/read/2009/).
Sekarang mari kita lihat ketentuan impeachment dalam UUD
1945 (setelah diamandemen): Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (5), dan (7)(1) Usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat3)
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan./atau
Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DewanPerwakilan
Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskanusul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. (6)
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi huruf
tebal dan miring dari penulis, yang artinya bahwa pendapat tersebut harus
dituangkan dalam bentuk “hak menyatakan pendapat” oleh DPR sebagaimana diatur
dalam Pasal 20A ayat UUD 1945 kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses “impeachment” diawali
dengan adanya “usulan pemberhentian” dari DPR kepada MPR tentang adanya dugaan
pelanggaran sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7B tersebut, yang terlebih
dahulu harus dimintakan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum dimaksud. “Usulan pemberhentian” dari DPR tersebut terkait dengan hasil
dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1)
dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 20A:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan
fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dengan
demikian “usulan pemberhentian” DPR tersebut merupakan pelaksanaan dari hak
DPR, yaitu hak “interpelasi”, “hak angket” atau “hak menyatakan pendapat” sebagaimana
diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 terkait dengan pelaksanaan fungsi DPR
yaitu fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (2) Pasal 20A
ayat (1) UUD 1945. Namun demikian sebelum sampai pada adanya “usulan
pemberhentian” Presiden dan/atau Wapres, terlebih dahulu DPR harus menggunakan
“hak menyatakan pendapat” dari hasil pelaksanaan fungsi pengawasan terkait
dengan pelaksanaan hak “interpelasi atau “hak angket”, di mana dinyatakan dalam
Pasal 184 ayat (1) dan (4) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
bahwa hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan oleh paling sedikit 25
orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang
dihadiri paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR, dan diputuskan dengan
persetujuan oleh paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Apabila DPR memutuskan menerima usul hak menyatakan pendapat, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 UU No. 27 Tahun 2009, DPR akan membentuk
panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan keputusan
DPR, yang wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut.
Proses selanjutnya diatur dalam Pasal 187 UU No. 27 Tahun 2009
bahwa apabila DPR pada akhirnya memutuskan untuk menerima laporan panitia
khusus yangmenyatakan bahwa memang telah terjadi pelanggaran, maka DPR dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah DPR yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR,
selanjutnya menyampaikan keputusan tentang menyatakan pendapat kepada MK (Pasal
7B ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 187 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009).
Selanjutnya MK berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 jo
Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK) wajib memeriksa, mengadili,
dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90
(Sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR itu diterima MK. Apabila MK
ternyata memutuskan bahwa pendapat DPR tersebut terbukti, dalam arti memang
telah terjadi pelanggaran hukum yang disangkakan, maka berdasarkan ketentuan
Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 jo Pasal 188 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009, DPR
menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wapres kepada MPR. Apakah proses impeachment sudah selesai? Belum,
karena sesuai dengan ketentuan Pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945, paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima usulan tersebut MPR wajib
menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wapres yang dihadiri oleh sekurangkurangnya ¾ dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wapres diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna MPR tersebut
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berangkat dari pembahasan tersebut
diatas, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Setelah perubahan Undang undang Dasar
1945 sebanyak empat kali telah terjadi banyak perubahan terhadap kekuasaan
Konstitusional Presiden Republik Indonesia. Pertama terjadinya pengurangan
dibidang pembuatan undang undang yang dimana dalam kekuasaan pembutan undang
undang ada ditangan DPR bukan lagi ditangan Presiden.
2. terjadi sedikit pengurangan dalam
kekuasaan Hubungan Luar Negeri, yaitu dalam mengangkat duta, presiden
memerhatikan pertimbangan DPR. Begitu juga dalam hal Presiden menerima
penempatan duta negara lain, di mana presiden penempatan duta negara lain
presiden memerhatikan pertimbangan DPR.
3. terjadi sedikit perubahan dalam hal
kekusaan yudisial. Dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung( Pasal 14 ayat 1 ), sebelum perubahan
berbunyi tidak ada kewajiban bagi presiden untuk meminta pertimbangan Keika
akan memberi grasi dan rehabilitasi.begitu juga dalam hal kekuasaan memberi amnesti dan abolisi,
presiden memerhatikan pertimbangan DPR, sebelum perubahan, presiden tidak
memerlukan pertimbangan dari DPR ketika akan memberi amnesti dan rehabilitasi.
4. terjadi sedikit pengurangan dalam hal
kekuasaan presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan,.
Setelah perubahan, diharuskan ketentuan tersebut diatur dalam undang undang.
Padahal sebelum perubahan, ketentuan seperti itu tidak ada.
5. terjadi sedikit pengurangan kekuasaan
presiden dalam hal pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian Negara.
Sebelum perubahan, ketentuan seperti itu tidak diatur di dalam UUD 1945 yang
dalam praktinya dianggap sebagai hak progeratif presiden dalam rangka
menjalankan program program yang direncanakannya sebgaimana ia mempunyai
kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri menteri Negara. Namun,
setelah perubahan, hal tersebut tidakn bisa lagi dilakukan karena harus sesuai
dengan undang undang yang mengatur hal tersebut.
6. setelah perubahan keempat presiden
mendapat kekuasaan konstitusional tambahan untuk membentuk dean pertimbangan
yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden.
Ketujuh, setelah perubahan, presiden
mendapatkan kekuasaan tambahan yaitu Mempunyai
kekuasaan untuk meresmikan anggota badan pemeriksa keuangan yang telah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah, menetapkan caalon hakim agung usulan dari momisi yudisial
yang telah disetujui oleh DPR, serta mengusulkan 3 hakim konstitusi dan
menetapkan sembilan hakim konstitusi yang masing masing disuulkan oleh tiga
dari amhkamah agung, tiga dari DPR dan Tiga dari presiden sendiri.
B. Berdasarkan
Pasal 7A UUD 1945 tersebut, maka ada lima jenis pelanggaran hukum yang dapat
dijadikan dasar pemberhentian seorang Presiden Republik Indonesia. Kelima
alasan itu adalah: 1. Penghianatan terhadap negara, 2) korupsi, 3) penyuapan,
4) tindak pidana berat lainnya; dan 5) perbuatan tercela. Selain pelanggaran
hukum,
B. SARAN
Kepala
negara dan atau kepala pemerintahan dalam sebuah negara memegang peranan sangat
penting Untuk itu diperlukan posisi yang kuat dalam menjalankan tugas tugasnya.
Akan tetapi jika kekuasaan tersebut tidak diimbangi dengan mekanisme cheks and
balance, akan berubah menjadi petaka. Sejarah membuktikan betapa banyak para
pemimpin di suatu negara yang mensengsarakan rakyatnya akibat kekuasaan tanpa
kontrol kuat, misalnya presiden soeharto pada era orde baru, yang di mana
menjadi seorang pemimpin yang otorite karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang
sangat besar pada waktu itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghoffar,Abdul.Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia
setelah perubahan UUD 1945 dengan dalapan negara maju. Jakarta: Kencana.
2009
Asshiddiqie,
Jimly. Komentar atas undang undang dasar
negara republik indonesia tahun 1945. Jakarta :Sinarfa Grafika.2009
Huda,
Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta:
Rajawali Pers. 2010
Burdiarjo,
Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia. 2008
Gayo,
Iwan. Buku Pintar. Jakarta : Upaya
Warga Negara. 2000
Undang
undang Dasar 1945 sesudah perubahan.
[1] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 3
[2] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H.
Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 9
Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 10
[6] http://seruankasih.wordpress.com/2012/07/29/kekuasaan-presiden-ri-sebelum-amandemen-uud-1945-tugas-mata-kuliah-sistem-politik-indonesia/.
[7] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 11
[9] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 11
[10] Abdul Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H.
Perubahan Kekuasaan Presiden Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju. Hal 14
[12] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 98
[13] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 13
Undang
undang Dasar 1945, setelah perubahan
[15] Iwan Gayo,Buku pintar. Hal 15
[16] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 106
http://news.okezone.com/read/2010/08/19/339/364714/gayus-dpr-harus-ikut-pertimbangkan-grasi
[19] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 112
[21] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 113
[23] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 114
[25] Abdul
Ghoffar,S.Pd.I.,S.H,M.H. Perubahan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.
Hal 120
No comments:
Post a Comment