OLEH:
KELOMPOK
7
1.
SRI
YUNASRI (
1261041001 )
2.
AHMAD
AKHYAR A.A ( 1261041026 )
3.
MUH.
KHAEDIR ( 1261041013 )
4.
AMRAN (1261042008
)
5.
LISDAYANTI ( 1261042020 )
6.
IRMA
INDRIANI ( 126104 )
7.
SUMARNI
B ( 126104 )
PEND. PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas berkat dan rahmat
Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Hukum Pajak mengenai
Subjek Pajak Dalam Negeri. Tak lupa pula shalam atas junjungan Nabiullah
Muhammad SAW yang membawakan agama islam, agama keselamatan bagi seluruh ummat
manusia di muka bumi. Penulis tau bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat berbagai kekurangan, namun penulis berharap agar makalah tetap bisa
bermanfaat bagi teman-teman dalam melengkapi materi-materi tersebut.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun telah
berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik, namun
penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu, penyusun sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun
dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dipergunakan
dengan sebaik-baiknya.
Makassar,
7 Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
subyek pajak dalam negeri
B. Persyaratan
subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pajak adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment.
Pada mulanya pajak belum merupakan
suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada
raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara,
menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain-lain. Bagi penduduk yang
tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura maka ia diwajibkan melakukan
pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam
satu tahun.
Penghasilan negara adalah berasal
dari rakyatnya melalui pungutan pajak, dan atau dari hasil kekayaan alam yang
ada dalam negara itu (natural resources). Dua sumber itu merupakan
sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan itu
untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan
pribadi individu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan, kesejahteraan dan
sebagainya. Jadi, dimana ada kepentingan masyarakat, disana timbul pungutan
pajak sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.
Pajak mempunyai peran yang
sangat penting bagi kehidupan bernegara, khususnya didalam pembangunan karena
pajak merupakan sumber penghasilan negara untuk membiayai semua pengeluaran,
termasuk pengeluaran pembangunan.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian subyek pajak dalam negeri
2. Mengetahui persyaratan subyek pajak sebagai subyek
pajak dalam negeri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian subyek pajak dalam negeri
Ketentuan subjek pajak dalam negeri diatur di
Pasal 2 ayat (3) UU PPh 1984. Berikut bunyi lengkapnya :
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau PemerintahDaerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Selain Pasal 2 ayat (3) diatas, yang berkaitan dengan subjek pajak dalam negeri diatur juga di Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 2A UU PPh 1984 mengatur tentang saat dimulai menjadi subjek pajak.
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang
pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di
Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Penjelasan :
(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Penjelasan :
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi
subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau
berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.
Dapat terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Catatan :
Perhatikan, baik di batang tubuh maupun di memori penjelasan tidak ada pengaturan kewarganegaraan. Beberapa teman di DJP sekalipun masih memiliki pemahaman bahwa seorang warga negara Indonesia atau WNI akan otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Mohon digaris bawahi kalimat pertama memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a yang berbunyi, “Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.” Kalimat ini [persis sama] sudah ada di memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 1994. Inilah bukti bahwa UU PPh 1984 menganut residence prinsiple atau asas tempat tinggal atau asas domisili!
B. Persyaratan subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri terdiri [tidak kumulatif] :
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.
Dapat terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Catatan :
Perhatikan, baik di batang tubuh maupun di memori penjelasan tidak ada pengaturan kewarganegaraan. Beberapa teman di DJP sekalipun masih memiliki pemahaman bahwa seorang warga negara Indonesia atau WNI akan otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Mohon digaris bawahi kalimat pertama memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a yang berbunyi, “Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.” Kalimat ini [persis sama] sudah ada di memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 1994. Inilah bukti bahwa UU PPh 1984 menganut residence prinsiple atau asas tempat tinggal atau asas domisili!
B. Persyaratan subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri terdiri [tidak kumulatif] :
[1.] orang pribadi yang bertempat tinggal atau berniat bertempat tinggal di Indonesia
Seseorang yang tertempat tinggal di Indonesia tidak perlu diragukan lagi bahwa dia memang subjek pajak dalam negeri. Karena di Indonesia berlaku dokumen Kartu Tanda Penduduk [KTP] maka dokumen KTP membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan subjek pajak dalam negeri. Dokumen ini akan menjadi masalah jika kemudian yang bersangkutan tidak “menetap” di Indonesia. Maksud menetap disini adalah keberadaan yang bersangkutan di Indonesia. Kadang di Indonesia, kadang di LN. Bisa jadi orangnya tinggal di Singapur tetapi masih memiliki KTP di Jakarta. Artinya, dokumen KTP hanya formalitas tetapi pada kenyataannya [substansinya] berbeda. Untuk kasus seperti ini, perlu ada test [pengujian] lain selain KTP.
Perhatikan kalimat memori penjelasan berikut, “Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.” Niat adalah sesuatu yang abstrak. Tidak mungkin petugas pajak menanyakan setiap orang yang datang di Bandara Internasional bertanya kepada orang asing, “Apakah Saudara berniat tinggal di Indonesia?” Kemudian si petugas pajak membuat berita acara bahwa orang asing tersebut berniat tinggal di Indonesia dan dijadikan sebagai subjek pajak dalam negeri.
Atau sebaliknya dengan bertanya kepada setiap WNI yang pergi ke Luar Negeri atau berada di Luar Negeri, “Apakah Saudara berniat suatu saat akan tinggal di Indonesia kembali?” Jelas ini pekerjaan tidak perlu. Hal yang sama berlaku bagi orang yang niat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya [saat berakhirnya subjek pajak dalam negeri]. Perhatikan kalimat di memori penjelasan berikut, “Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.” Bukti-bukti yang nyata mengenai niat harus diberlakukan baik niat bertempat tinggal atau niat meninggalkan Indonesia. Karena itu, kita mesti hati-hati apa yang dimaksud dengan niat di Pasal 2A UU PPh 1984.
Contoh seseorang berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia menurut saya : Mr. Y penduduk Tokyo dan warga negara Jepang mendapat “kontrak” bekerja di Toyota Indonesia selama dua tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, maka Mr. Y akan menjadi subjek pajak dalam negeri sejak hari pertama bertugas di Indonesia. Dalam hal pembelian tempat tinggal di Indonesia oleh orang asing menurut saya tidak bisa dijadikan syarat sebagai subjek pajak dalam negeri. Memang pembelian tempat tinggal bisa diartikan bahkan pembeli akan tinggal di Indonesia. Tetapi sangat mungkin orang Singapura yang membeli rumah atau apartemen di Indonesia hanya sekedar untuk tempat singgah atau untuk disewakan [investasi saja].
[2.] Orang pribadi yang lahir di Indonesia
Ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia maka otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. Bagi saya memang subjek pajak saya sudah ada sejak saya lahir. Mengapa? Ya logis saja karena sejak lahir sampai sekarang saya berada di Indonesia. Tidak kemana-mana! Menurut saya, aturan tentang “kelahiran” ini harus diterapkan kepada orang-orang yang seperti saya. Orang yang tidak kemana-mana.
[3.] orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pengujian 183 hari adalah pengujian yang paling adil. Dan penerapannya harus “reciprocal” atau timbal balik. Maksud saya, jika seseorang berada di Indonesia selama 183 hari atau lebih maka dia manjadi subjek pajak dalam negeri. Tetapi jika seseorang berada di Luar Negeri selama 183 hari atau lebih maka dia menjadi subjek pajak luar negeri.
[4.] badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Untuk subjek pajak berbentuk badan tidak banyak memperdebatkan. Kriterianya pun cuma dua, pertama, semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Contoh : perseroan terbatas, firma, CV, ormas, parpol, dan badan hukum lainnya. Kedua, semua badan yang berkedudukan di Indonesia. Berkedudukan bisa diartikan tempat manajemen berada atau place of effective management di Indonesia.
Awal dan akhir
dari subyek pajak dalam negeri:
1. Orang Pribadi
Mulai : a. Saat
dilahirkan
b. Saat berada di Indonesia lebih
dari 183 hari dalam satu tahun atau punya niat untuk menetap atau bertempat
tinggal di Indonesia
Berakhir : a. Saat meninggal dunia
b. Saat
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
2. Badan
Mulai : Saat didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia
Berakhir
: Saat dibubarkan atau tidak lagi
berkedudukan di Indonesia
3. Warisan belum terbagi
Mulai
: Saat meninggalnya
Pewaris dengan meninggalkan warisan (saat timbulnya warisan)
Berakhirnya : Saat warisan sudah dibagikan kepada Ahli Waris
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. orang pribadi yang
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria; pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan, pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau belanja daerah (APBD), penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah, pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan nasional negara.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria; pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan, pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau belanja daerah (APBD), penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah, pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan nasional negara.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
.
B.
SARAN
Penghasilan negara terbesar adalah
dari pajak. Pajak memiliki perana penting dalam pembangunan suatu negara
khususnya Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan pajak harus dikelola dengan
baik dan benar agar manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat. Selain itu juga
para wajib pajak harus rutin dalam membayar pajak demi tercapainya pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buhori, H.
2006. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : PT Raja Grafiindo Persada.
Http:// DATA
KULIAH/AJ/perpajakan/Perpajakan-Subyek-Dan-Objek-Pajak.htm
Http:// DATA
KULIAH/AJ/perpajakan/tarif-pajak.html
Http://DATA
KULIAH/AJ/perpajakan/utang-pajak.html
Mardiasmo.
2001. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta
Richard
Burton dan Wirawan B. Ilyas. 2001. Hukum Pajak. Edisi Pertama. Jakarta:
Salemba Empat.
Rochmat
Soemitro. 1991. Azas-azas Hukum Perpajakan. Bandung : PT Eresco.
Suandy,
Erly. 2000. Hukum Pajak. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat.
Waluyo.
2005. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Pemerintah walaupun bisa disebut badan tetapi
dikecualikan sebagai subjek. Ini logika saja karena pemerintah adalah pihak
yang memungut pajak. Jika pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah
akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pajak yang merupakan penghasilan
pemerintah akan dikenakan pajak lagi. Ini tidak masuk akal. Yang benar adalah
pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Bahkan
sebagian ahli moneter menyebutkan bahwa pajak adalah aliran dana dari sektor
privat ke sektor publik.
Sistem pemungutan pajak di
indonesia adalah Self Assessment System yang berarti wajib pajak
diberikan kepercayaan untuk memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan
sendiri atas pajak yang terhutang terhadap negara. Disamping cara Self
Assessment System terdapat cara lain yaitu sistem pemotongan (withholding
system).
Withholding System merupakan cara yang paling mudah yang dilakukan pemerintah untuk memungut
pajak, yaitu dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk melakukan pungutan dan
pemungutan pajaknya oleh pihak lain. Dengan cara ini maka pemerintah tidak
perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk memungut
pajak.
A.
SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
1.
Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi
syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di
Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi
syarat-syarat obyektif.
Subjek pajak tidak identik dengan
subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi
subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak yang
masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka
perlu ditunjuk orang atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya.
a.
Subjek Pajak dari PPh (Pajak Penghasilan)
Secara umum pengertian subjek pajak adalah siapa yang
dikenakan pajak. Secara praktik termasuk dalam pengertian subjek pajak meliputi
orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan
bentuk usaha tetap. Subjek pajak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Orang Pribadi dan
Warisan yang Belum Terbagi sebagai Satu Kesatuan Menggantikan yang Berhak
Kedudukan
orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan dan
juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (nondicrimination).
Dalam hal
ini, Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan
ahli warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilakasanakan, demikian juga dengan
tindakan penagihan selanjutnya.
2) Badan
Badan
adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha atau tidak melakukan usaha.
3) Bentuk Usaha Tetap
Bentuk
Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertepat tinggal di Indonesia atau berada berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam dalam jangka waktu 12 bulan,
atau juga badan yang didirkan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Subjek PPh dibedakan antara Subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1) Subjek pajak dalam
negeri
Subjek pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang
secara fisik memang berada atau bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
a) Orang pribadi yang
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b) Badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c) Warisan yang belum
terbagi menggantikan yang berhak.
2) Subjek pajak luar
negeri
a) Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b) Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri akan menjadi pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi
wajib pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan
di Indonesia atau di peroleh melalui BUT Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib
Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan
kewajiban pajaknya, antara lain :
1)
Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia.
2)
Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan
tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
3)
Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu
tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib memberitahukan
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi
melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Sebagaimana diketahui bahwa pajak penghasilan
merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek
pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tidak dilimpahkan kepada
subjek lainnya. Oleh karenanya, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif menjadi penting sebagaimana diatur dalam Pasal 2 A UU PPh,
yaitu sebagai berikut :
1)
Bagi Subjek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka
kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat lahirkan, berakhir saat
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2)
Bagi subjek pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat badan tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir saat di bubarkan
atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
3)
Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia, dimulai saat orang pribadi atau
badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir saat
tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap.
4)
Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari atau badan yang tidak didirikan
dan tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau memperoleh
penghasilan melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dimulai saat orang
pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
5)
Untuk warisan yang belum terbagi, maka kewajiban pajak subjektifnya dimulai
pada saat timbulnya warisan, yaitu pada saat pewaris meninggal dunia, Warisan
yang belum terbagi baru menjadi wajib pajak apabila warisan tersebut
mengeluarkan penghasilan Dan berakhirnya pajak warisan tersebut setelah warisan
selesai dibagi.
Berikut ini adalah Undang-undang tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
1)
PPh pasal 21
Subyek PPh 21 adalah penerima
penghasilan yang dipotong oleh :
a) Pemberi kerja yang
membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oeh pegawai atau bukan pegawai.
b) Bendahara pemerintah
yang membayar gaji, upah, honorarium tunjangan dan pembayara lain sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
c) Dana pensiun atau
badan lain yang membayarkan uang pension dan pembayaran lain dengan nama apapun
dalam rangka pensiun.
d) Badan yang membayar
honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk
jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
e) Penyelenggara
kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanan suatu kegiatan
2)
PPh Pasal 23
Subjek pajak PPh 23 adalah Wajib Pajak dalam Negeri
atau bentuk usaha tetap. Adapun objek pajak PPh 23 yang dipotong pajak oleh
pihak yang membayarkan adalah :
a)
Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
(1) Dividen
(2) Bunga
(3) Royalti
(4) Hadiah
b)
Sebesar 2% (dua pesen) dari jumlah bruto atas :
(1) Sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan.
(2) Imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan.
Sedangkan yang bukan termasuk objek Pajak PPh 23
adalah :
a)
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
b)
Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi.
c)
Dividen yang diterima oleh orang pribadi.
d)
Bagian laba.
e)
Sisa hasil usaha kioperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
f)
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
peraturan Menteri Keuangan.
3)
PPh Pasal 26
Subjek pajak PPh 26 adalah badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Adapun objek pajak PPh 26 yang dipotong pajak oleh
pihak yang wajib membayarkan adalah :
a)
Dividen
b)
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
c)
Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d)
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e)
Hadiah dan penghargaan
f)
Pension dan pembayaran berkala lainnya
g)
Premi swap san transaksi lindung nilai lainnya, dan/ atau
h)
Keuntungan karena pembebasan utang.
4)
PPh Pasal 4 ayat 2
Objek PPh yang dapat dikenai pajak
bersifat final adalah :
a)
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi.
b)
Penghasilan berupa haiah undian.
c)
Penghasilan dari tansaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura.
d)
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan.
b.
Subyek Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah
(PPN-PPnBM)
1)
Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Subyek PPN adalah Pengusaha Kena
Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).yang
dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih
untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No.28 Tahun 1988 serta PP No. 75 Tahun
1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak
sebagai subjek PPN yaitu :
a) Pabrikan
b) Importir
c) Indentor
d) Agen utama atau
penyalur utama
e) Pengusaha
pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak.
f) Pedagang besar
g) Eksportir
h) Pedagang eceran beras
i) Pemborong
atau Kontraktor
j) Pengusaha
jasa bidang komunikasi
k) Pengusaha jasa
angkatan udara dalam negeri
l) Pengusaha
lain yang ditetapkan oleh direktur jendral pajak
2)
Subyek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Subyek Pajak Penjualan atas Barang
Mewah adalah PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya dan pengusaha yang mengimpor barang yang tergolong
mewah.
c.
Subyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subyek PBB adalah orang atau badan
yang secara nyata mempunyai kewajiban untuk melunasi PBB sesuai dengan
ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan melunasi utang PBB apabila subjek PBB
tersebut secara nyata mempunyai hak atas bumi dan bangunan dan atau memperoleh
manfaat atas bumi dan bangunan. Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB adalah
mengacu pada ketentuan Undang-undang Agraria yaitu : Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
Berikut ini beberapa contoh subjek wajib pajak yang harus melunasi pajak karena
status kepemilikan objek yang tidak jelas.
1) Subjek pajak bernama
A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunan milik orang lain bernama S
bukan karena suatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian,
maka A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunana tersebut akan
ditetapkan sebagai wajib pajak.
2) Suatu objek pajak
ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan dipengadilan maka orang atau
badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut yang akan
ditetapkan sebagai waib pajak.
3) Subjek pajak dalam
waktu lama berada diluar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk merawat
objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang atau badan
yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai wajib pajak.
Bila
subjek pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak merasa bahwa penetapan
tersebut tidak benar, subjek pajak dapat mengajukan keberatan dengan memberikan
keterangan secara tertulis bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak
dimaksud.
d. Subyek
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Subyek pajak BPHTB adalah
orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
The
“days of physical presence” method atau pengujian metode 183 hari terutama diterapkan
bagi karyawan atau pegawai di Luar Negeri. Kenapa saya hubungkan dengan status
karyawan atau pegawai? Karena banyak sekali email yang masuk dari tenaga
kerja Indonesia di Luar Negeri yang mempermasalahkan status subjek pajak.
Sebagai patokan, saya kutip acuan pengaturan Pasal 15 tax treaty dari OECD yang sering disebut OECD model. Berikut kutipan Pasal 15 ayat (2) OECD model:
Sebagai patokan, saya kutip acuan pengaturan Pasal 15 tax treaty dari OECD yang sering disebut OECD model. Berikut kutipan Pasal 15 ayat (2) OECD model:
Notwithstanding
the provisions of paragraph 1, remuneration derived by a resident of a
Contracting State in respect of an employment exercised in the other
Contracting State shall be taxable only in the first-mentioned State if:
a. the recipient is present in the other State for a period or periods not exceeding in the aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending in the fiscal year concerned, and
b. the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is not a resident of the other State, and
c. the remuneration is not borne by permanent establishment which the employer has in the other State.
a. the recipient is present in the other State for a period or periods not exceeding in the aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending in the fiscal year concerned, and
b. the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is not a resident of the other State, and
c. the remuneration is not borne by permanent establishment which the employer has in the other State.
Contohnya begini : Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas pekerja ekspatriat [orang asing yang bekerja di Indoneisa] jika si pekerja tersebut berada di Indonesia 183 hari atau lebih. Sebaliknya Indonesia tidak memiliki hak pemajakan penuh jika [a] berada di Indonesia kurang dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji bukan subjek pajak dalan negeri, dan, [c] gaji bukan biaya BUT di Indonesia. Jika ketiga syarat tersebut dipenuhi maka atas objek gaji tersebut hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Luar Negeri.
Persyaratan ini tentu [seharusnya] berlaku sebaliknya atau timbal balik. Pekerja Indonesia di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia atas penghasilan gajinya jika tiga syarat tersebut terpenuhi. Atau, atas gaji yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia [TKI] di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Indonesia jika [a] berada di Indonesia lebih dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji merupakan subjek pajak dalan negeri / Indonesia, dan, [c] gaji bukan biaya BUT di Luar Negeri.
Waktu
kuliah, dulu, ada diskusi : apakah Bank Indonesia
subjek pajak atau bukan? Jawabannya bukan subjek pajak karena Bank Indonesia
bagian dari pemerintah. Dan UU PPh pun nampaknya “selaras” kecuali UU No. 36
tahun 2008 karena di Pasal 4 ayat (1) huruf s menyebutkan bahwa surplus Bank
Indonesia sebagai objek PPh. Seorang anggota tim perumus RUU PPh mengatakan
pada saat sosialisasi UU PPh baru di Bandung bahwa aturan surplus Bank
Indonesia hanya merespon UU Bank Indonesia. Pasal II angka 4 UU No. 3 Tahun
2004 yang menyatakan,"Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka
berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak
penghasilan."s
Subjek Dalam Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah :
a. Orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah
orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam
pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 hari tidak harus
berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di
Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam
negeri mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak.
Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih
kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh
orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap
sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
PENGECUALIAN SUBJEK PAJAK
PENGHASILAN
Tidak termasuk Subjek Pajak adalah:
a. Badan perwakilan negara asing
b.
Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
c.
Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut
2) Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota
d.
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan
perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat
dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka
mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi
pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan
lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu
negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak
atas penghasilan lain tersebut.
No comments:
Post a Comment