Friday 14 November 2014

Makalah Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Perkosaan



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), mengatur setiap tingkah laku warga negaranya tidak terlepas dari segala  peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Negara hukum menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa ada  pengecualian. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban,  kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berkembangnya berbagai tindak kejahatan yang dianggap sebagai suatu fenomena social. Kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai suatu fenomena sosial,termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan.Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya.Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan.Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam pembahasan mengenai asal-usul tingkah laku kriminal dan dalam pertimbangan mengenai faktor mana yang memegang peran, utamanya di antara faktor keturunan atau faktor lingkungan, kriminolog tersebut menarik kesimpulan bahwa, kriminalitas manusia normal adalah akibat, baik dari faktor keturunan maupun dari faktor lingkungan, dimana kadang-kadang dari faktor keturunan dan kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang peran utama, dan di mana kedua faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.
Secara garis besarnya, bahwa faktor keturunan dan faktor lingkungan masing-masing bukan satu faktor saja melainkan suatu gabungan faktor, dan bahwa gabungan faktor ini senantiasa saling mempengaruhi di dalam interaksi sosial orang dengan lingkungannya.
Jadi, seorang manusia normal bukan ditentukan sejak lahir untuk menjadi kriminal oleh faktor pembawaannya yang dalam saling berpengaruh dengan lingkungannya menimbulkan tingkah laku kriminal, melainkan faktor-faktor yang terlibat dengan iteraksi lingkungan sosial itulah yang memberikan pengaruhnya bahwa ia betul-betul menjadi kriminal dalam pengaruh-pengaruh lingkungan yang memudahkannya itu.
Seperti halnya mengenai delik kekerasan mengenai perkosaan, di zaman kuno hingga akhir Abad Pertengahan, pemerkosaan pada umumnya tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap seorang gadis atau perempuan, melainkan lebih kepada pribadi sang laki-laki yang "memilikinya". Jadi, hukuman atas pemerkosaan seringkali berupa denda, yang harus dibayarkan kepada sang ayah atau suami yang mengalami "kerugian" karena "harta miliknya" "dirusak". Posisi ini kemudian diubah di banyak lingkungan budaya karena pandangan bahwa, seperti halnya sang "pemilik", si perempuan itu sendiripun mestinya ikut mendapatkan ganti ruginya.Pemerkosaan dalam peperangan juga dapat dilihat terjadi di zaman kuno sehingga disebutkan pula di dalam Alkitab, misalnya di dalam kisah tentang kaum perempuan yang diculik sebagai hadiah kemenangan.Tentara Yunani, Kekaisaran Persia dan Kekaisaran Romawi, secara rutin memperkosa kaum perempuan maupun anak-anak lelaki di kota-kota yang ditaklukkan. Perilaku yang sama masih terjadi bahkan hingga tahun 1990-an, ketika pasukan-pasukan Serbia yang menyerang Bosnia dan Kosovo, melakukan kampanye yang penuh perhitungan dengan memperkosa kaum perempuan dan anak-anak lelaki di daerah-daerah yang mereka kuasai.Hal yang sama pun terjadi di Indonesia.
Kabarnya di Timor Timur, ketika masih menjadi bagian Indonesia, kaum perempuannya seringkali diperkosa sebagai bagian dari perang psikologis untuk menekan semangat untuk berontak. Demikian pula dalam Kerusuhan Mei 1998, dilaporkan banyak kaum perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh sebagai bagian dari strategi untuk mengancam mereka.Pemerkosaan, sebagai strategi perang, dilarang oleh hukum militeryang disusun oleh Richard II dan Henry V (masing-masing tahun 1385 dan 1419). Hukum-hukum ini merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi para pemerkosa pada masa Perang Seratus Tahun (1337-1453).Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kasus perkosaan yang marak terjadi di Indonesia , menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya menyangkut pelanggaran hukum namun terkait pula dengan akibat yang akan dialami oleh korban dan timbulnya rasa takut masyarakat secara luas. Akibat dari ini di Indonesia secara normatif tidak mendapatkan perhatian selayaknya, hal ini disebabkan oleh karena hukum pidana (KUHP) masih menempatkan kasus perkosaan ini sama dengan kejahatan konvensional lainnya, yaitu berakhir sampai dengan dihukumnya pelaku. Kondisi ini terjadi oleh karena KUHP masih mewarisi nilai-nilai pembalasan dalam KUHP.
Dari sudut pandang ini maka menghukum pelaku menjadi tujuan utama dalam proses peradilan pidana, oleh karena itu semua komponen dalam proses peradilan pidana mengarahkan perhatian dan segala kemampuannya untuk menghukum si pelaku dengan harapan bahwa dengan dihukumnya pelaku dapat mencegah terulangnya tindak pidana tersebut dan mencegah pelaku lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama ini dan masyarakat merasa tentram karena dilindungi oleh hukum, seperti yang ada dalam KUHP pada pasal 285 yaitu “Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”
Adapun yang dimaksud dengan tindakan perkosaan adalah tindakan yang melanggar hukum. Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa tersebut. Seperti yang sudah ada dalam KUHP Ancaman hukuman dalam pasal 285 ini ialah pria yang memaksa wanita, dimana wanita tersebut bukan istrinya dan pria tersebut telah bersetubuh dengan dia dengan ancaman atau perkosaan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas apa yang dimaksud dengan tindak pidana perkosaan. Maka masyarakat harus bisa berhati-hati dan lebih waspada terhadap tindak pidana perkosaan dan kasus pemerkosaan menjadi masalah yang harus segera dibenahi di Indonesia agar tidak merusak citra dan moral bangsa Indonesia. Maka dari itu penulis akan menyajikan apa sebenarnya tindak pidana perkosaan, dampak dan pencegahannya pada makalah ini dengan judul ’Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Perkosaan’.

B.     Rumusan Masalah
Adapun latar belakang yang dipaparkan diatas dapat diambil rumusan masalah diantaranya :
1.      Apakah  pengertian kriminologi?
2.      Apakah pengertian perkosaan, macam-macam pemerkosaan dan faktor penyebab perkosaan ?
3.      Bagaimana dampak perkosaan terhadap sosial dan psikologis?
4.      Bagaimana upaya mengatasi dan mengurangi pemerkosaan?
5.      Bagaimana upaya ketika akan dilakukan pemerkosaan ?
6.      Bagaimana upaya penganggulangan pemerkosaan ?

C.    Tujuan Penulis
Adapun rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan penulis diantaranya :
1.      Untuk mengetahui Pengertian kriminologi?
2.      Untuk mengetahui  pengertian perkosaan, macam-macam pemerkosaan dan faktor penyebab perkosaan ?
3.      Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap sosial dan psikologis?
4.      Untuk mengetahui  upaya mengatasi dan mengurangi pemerkosaan?
5.      Untuk mengetahui upaya ketikan akan dilakukan pemerkosaan ?
6.      Untuk mengetahui upaya penganggulangan pemerkosaan ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Kriminologi
1.      Pengertian Kriminologi
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu /pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan oleh P. Topinard, ahli dari perancis dalam bidang antropologi, sementara istilah yang sebelumnya banyak dipakai adalah antropologi criminal.
Ø  Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.
Ø  Bonger mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan seluas-luasnya
2.      Sejarah perkembangan kriminologi.
a.         PERIODE MASA PRA 1830
Plato menyebut emas dan manusia adalah penyebab adanya kejahatan, makin tinggi pandangan tentang kekayaan oleh manusia makin merosot penghargaan kesusilaan. Sehingga apabila dalam setiap negara banyak terdapat orang miskin maka akan terdapat bajingan-bajingan, pemerkosa agama dan penjahat dari
Ø  Plato
berbagai corak. Mengatasinya Plato menyatakan bahwa adanya rasa komunal dalam suatu masyarakat, anggotanya akan berbuat sama dalam hal kebaikan, sehingga yang miskin dan kaya tidak akan ditemui ketakaburan, kezaliman dan rasa iri hati serta benci (pandangan ‘utopi’)
Ø  Aristoteles
Sedangkan Aristoteles menyatakan kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, kejahatan terbesar tidak diperbuat untuk hidup
b.      PERIODE MASA PRA 1830
tapi untuk kemewahan. Bonger menyimpulkan uraian ahli tersebut berpengaruh dalam lapangan hukuman yaitu hukuman dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar jangan berbuat jahat
c. Masa sesudah 1830 s/d sekarang
Ø  Masa 1830 sampai 1960
Disebut juga masa kriminologi klasik atau Positivistis (Etiologi Kriminil) karena mengutamakan pendekatan sebab musabab yaitu melihatnya dari diri penjahat untuk menuju sasaran perbaikan atau penanggulangan kejahatan dengan didukung teori dari berbagai disipli ilmu pengetahuan berpendapat bahwa kejahatan dilakukan oleh orang/sekelompok orang karena kondisi yang ada padanya serta lingkungan pergaulan yang mempengaruhinya, sehigga lahirlah aliran bioantropologis, aliran lingkungan dan aliran kombinasi (multiple factor approach)
Sutherland (19120) melalui teori sosiologi menyatakan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja bukan monopoli orang atau sekelompok dalam kondisi tertentu. Disebabkankejahatan adalah perilaku yang timbul melalui
Ø  Masa sesudah 1830
proses belajar dalam kehidupan sosial tertentu (seperti disorganisasi sosial, mobilitas sosial dan konflik budaya) akan berpengaruh dalam mewarnai timbulnya kejahatan pada masyarakat yang mengalami proses tersebut.
Ø  Masa 1960-an sampai sekarang
Disebut juga masa kriminologi kritis (Critical Criminology) dimana kejahatan merupakan suatu konstruksi sosial yaitu pada waktu suatu masyarakat menetapkan sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai pelaku/penjahatnya.
Kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang secara bebas dan objektif dipelajari para ilmuwan tapi ditentukan oleh masyarakat sehingga kejahatan dan penjahat tergantung waktu dan tempat tertentu

3.      Aliran-aliran dalam kriminologi
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan, Paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh karena pemamahaman kita terhadap dunia social terutama dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan peristiwa-peristiwayang kita alami/lihat, sehingga juga bagi para ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan dipengaruhi wujud penjelasan maupun teori yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan-penjelasan dan teori-teori dalam kriminologi perlu diketahui perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi.
    Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai sesuatu sementara suatu penjelasan dipandang sebagai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan didalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi. Hal-hal yang dipercayai ( belief ) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Didalam sejarah intelektual terhadap masalah “penjelasan” ini secara umum dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistic, yang kedua-duanya merupakan pendekatan yang dikenal pada masa kuno maupun modern.
Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit ( roh). Unsur utama dalam penjelasan spiristik adalah sifatnya yang melampaui dunia empiric; dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari control atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas.

   Pada pendekatan naturalistik penjelasan diberikan secara terperinci dengan melihat dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Secara garis besar pendekatan ini dibagi tiga bentuk sistem pemikiran atau bisa disebut sebagai paradigma yang digunakan sebagai kerangka untuk menjelaskan fenomena kejahatan, adapun ketiga paradigma/ aliran ini adalah aliran klasik, positivisme dan aliran kritis.
a. Aliran Klasik
 Aliran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi mampu membawa manusia untuk berbuat mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti lain ia adalah penguasa dari dirinya sendiri. Ini adalah pokok pikiran aliran klasik dengan dilandasi pemikiran yang demikian maka penjahat dilihat dari batasan-batasan perundang-undangan yang ada.
    Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran terhadap undang-undang hukum pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Secara rasionalitas maka tanggapan masyarakat adalah memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan. Kriminologi disini sebagai alat untuk menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan kejahatan.
b. Aliran Neoklasik
Salah satu tokoh dalam aliran ini adalah Cesare Beccaria ( 1738 – 1794 ) merupakan tokoh yang menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada saat itu. Dalam bukunya Dei Delitti e delle pene secara gamblang dia menyebutkan keberatan-kebaratannya atas hukum pidana.
Aliran ini melahirkan aliran Neo-Klasik dengan ciri khas yang masih sama tetapi ada beberapa hal yang diperbaharui antara lain adalah kondisi si pelaku dan lingkungan mulai diperhatikan. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan Code De Penal secara kaku dimana tidak memperhitungkan usia, kondisi mental si pelaku, aspek kesalahan. Semua faktor tersebut tidak menjadi pertimbangan peringanan hukuman, penjatuhan hukuman dipukul rata berdasarkan prinsip kesamaan hukum dan kebebasan pribadi.
c. Aliran Positivisme
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor diluar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologi maupun kultural. Ini berarti manusia bukanlah mahluk yang bebas untuk mengikuti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mahluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologinya dan situasi kulturalnya. Manusia berubah bukan semata-mata akan intelegensianya akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologinya atau evolusi kultural. Aliran ini melahirkan dua pandangan yaitu Determinisme Biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan perilakunya dipahami dan diterima sebagai pencerminan umum dari warisan biologik. Sebaliknya Determinis Kultural menganggap bahwa perilaku manusia dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural yang melingkupinya. Mereka berpendapat bahwa dunia kultural secara relatif tidak tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti akan segera membuat perubahan yang lainnya.
Salah satu pelopor aliran positivis ini adalah Cesare Lombrosso (1835-1909) seorang dokter dari itali yang mendapat julukan Bapak Kriminologi Modern lewat teorinya yang terkenal yaitu Born Criminal, Lombrosso mulai meletakkan metodologi ilmiah dalam mencari kebenaran mengenai kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.
Teori Born Criminal ini di ilhami oleh teori evolusi dari darwin. Lombrosso membantah mengenai Free Will yang menjadi dasar aliran klasik. Doktin Avatisme membuktikan bahwa manusia menuruni sifat hewani dari nenek moyangnya. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dan menjadi sifat jahat pada manusia modern.
Dalam perkembangan teorinya bahwa manusia jahat dapat dilihat dari ciri-ciri fisiknya lewat penelitian terhadap 3000 tentara dan narapidana lewat rekam mediknya beberapa diantaranya telingan yang tidak sesuai ukuran, dahi yang menonjol, hidung yang bengkok.
Pada dasarnya teori lombrosso ini membagi penjahat dengan empat golongan, yaitu :
·         Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat seperti paham avatisme
·         Insane Criminal yaitu orang termasuk dalam golongan orang idiot, embisil,dan paranoid
·         Ocaccasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan yang berdasarkan pada pengalaman yang terus menerus sehingga mempngaruhi pribadinya.
·         Criminal of Passion yaitu orang yang melakukan kejahatan karena cinta, marah atapun karena kehormatan.
d. aliran Kritis
Pemikiran Kritis lebih mengarhkan kepada proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup. Menurut aliran ini tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentutakan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Sehubungan dengan itu maka tugas dari kriminologi adalah bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu.
Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan “interaksionis” dan “konflik”. Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu dengan cara mempelajari “persepsi” makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari kejahatan oleh agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat, juga proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendifinisikan seseorang sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dijelaskan dalam konsep “penyimpangan” ( deviance ) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari “penyimpangan sosial” dengan arti tindakan yang bersangkutan “berbeda” dengan tindakan orang pada umumnya dan terhadap tindakan menyimpang ini diberlakukan reaksi yang negatif dari masyarakat.
Menurut pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam mendifinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan; semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga sebaliknya.
Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif.Dalam pandangan teori ini bahwa manusia secara terus menerus berlaku uintuk terlibat dalam kelompoknya dengan arti lain hidupnya merupakan bagian dan produk dari kumpulan kumpulan kelompoknya. Kelompok selalu mengawasi dan berusaha untuk menyeimbangkan perilaku individu-individunya sehingga menjadi suatu perilaku yang kolektif.
4.      Tipe-tipe penjahat
v  Menurut Bonger
Bonger membagi jenis-jenis penjahat melalui motivasi melakukan kejahata yaitu:
c.   Kejahatan Ekonomi
d.  Kejahatan Kekerasan
e.   Kejahatan Seks
f.    Kejahatan politik

B.   Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latinrapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997). Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual.
Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban.Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban.Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:
barangsiapa dengan kekerasanatau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lamadua belas tahun”.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapatdiartikan ke dalam tiga bentuk:
1.   Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2.   Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3.   Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan.Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan.Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal.
v Macam-macam pemerkosaan dan faktor penyebab pemerkosaan
Ø  Macam-macam Pemerkosaan
1.       Pemerkosaan saat berkencan
Pemerkosaan saat berkencan adalah hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban.
2.      Pemerkosaan dengan obat
Banyak obat-obatan digunakan oleh pemerkosa untuk membuat korbannya tidak sadar atau kehilangan ingatan.
3.      Pemerkosaan wanita
Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6 wanita di AS adalah korban serangan seksual.Banyak wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan, sehingga tidak melaporkan pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku tidak bisa menahan hasrat seksualnya melihat tubuh wanita
4.      pemerkosaan massal
Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu korban.Antara 10% sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang.Di beberapa negara, pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang.
5.      Pemerkosaan terhadap laki-laki
Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual.Di banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai suatu kemungkinan.Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh memperkosa
6.       Pemerkosaan anak-anak
Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap hubungan sumbang bila dilakukan oleh kerabat dekat, misalnya orangtua, paman, bibi, kakek, atau nenek.Diperkirakan 40 juta orang dewasa di AS, di antaranya 15 juta laki-laki, adalah korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.
7.      Pemerkosaan dalam perang
Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan musuh dan menurunkan semangat juang mereka.Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil.
Ø Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan
     Faktor penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan ditinjau dari motif pelaku dalam melakukan perbuatan perkosaan dapat dibagi atas:
1) Seductive rape
      Pemerkosaan yang terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subyektif.Biasanya tipe pemerkosaan seperti ini terjadi justru di antara mereka yang sudah saling mengenal, misalnya pemerkosaan oleh pacar, teman, atau orang-orang terdekat lainnya.Faktor pergaulan atau interaksi sosial sangat berpengaruh pada terjadinya pemerkosaan.
2) Sadistic rape
      Pemerkosaan yang dilakukan secara sadis.Dalam hal ini pelaku mendapat kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, melainkan karena perbuatan kekerasan yang dilakukan terhadap tubuh perempuan, terutama pada organ genetalianya.
3) Anger rape
      Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan kemarahan pelaku.Perkosaan jenis ini biasanya disertai tindakan brutal secara fisik.Kepuasan seks bukan merupakan tujuan utama dari pelaku, melainkan melampiaskan rasa marahnya.
4) Domination rape
      Dalam hal ini pelaku ingin menunjukkan dominasinya pada korban. Kekerasan fisik bukan merupakan tujuan utama dari pelaku, karena ia hanya ingin menguasai korban secara seksual. Dengan demikian pelaku dapat membuktikan pada dirinya bahwa ia berkuasa atas orang-orang tertentu, misalnya korban perkosaan oleh majikan terhadap pembantunya.
5) Exploitation rape.
      Perkosaan jenis ini dapat terjadi karena ketergantungan korban pada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial.Dalam hal ini tanpa menggunakan kekerasan fisikpun pelaku dapat memaksakan keinginannya pada korban.Misalnya, perkosaan oleh majikan terhadap buruhnya.Meskipun ada persetujuan, hal itu bukan karena ada keinginan seksual dari korban, melainkan ada ketakutan apabila dipecat dari pekerjaannya (Suryono, 2001: 185).
      Tindak pidana perkosaan itu tidak terjadi begitu saja tanpa ada pemicunya.Seseorang yang melakukan tindak pidana perkosaan dapat saja mempunyai niat secara tiba-tiba.Niat yang secara tiba-tiba tersebut bisa dilihat dari faktor situasi dan kesempatan.Faktor situasi dan kesempatan tersebut meliputi keadaan sekitar yang sepi dan hanya ada korban, atau bahkan sebelumnya pelaku telah melihat gambar-gambar porno atau menonton film-film porno sehingga lebih meningkatkan gairah seksualnya.
      Perkosaan bisa terjadi pada siapapun, termasuk wanita yang mengenakan jilbab dan berpakaian serba tertutup, atau wanita yang telah memiliki sejumlah anak, wanita mengandung, atau bahkan anak-anak. Namun demikian, cara berpakaian minim memang cenderung memperkokoh cara pandang tentang wanita sebagai objek seks, sedangkan perkosaan sendiri lazim terjadi dalam masyarakat yang memandang wanita sebagai pihak yang memiliki derajat rendah serta memiliki fungsi sebagai pemuas nafsu seks pria.
C.   Dampak Sosial dan Dampak Psikologisnya
v Dampak Sosial
Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain:
1.      kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal;
2.      korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS);
3.      kehamilan tidak dikehendaki.
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban.Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995).Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya
v Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang.Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya.Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan.Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997).
Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil.Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik.Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis.Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil.Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.
Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelahkejadian.Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina.Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki insting insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut.Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.
Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah:
1.      sedih, suasana hati depres;
2.      kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan;
3.      kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus;
4.       perubahan tingkat aktivitas;
5.       hilangnya minat dan kesenangan dalam aktivtas yang biasa dilakukan;
6.      kehilangan energi dan merasa sangat lelah;
7.      konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah;
8.      sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu;
9.      sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing.
Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda beda.
Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya.
D.   Upaya Mengatasi dan Mengurangi Pemerkosaan
Berikut ini adalah cara mencegah dan mengurangi resiko diperkosa :
v  Tidak berdandan dan berpakaian yang mengundang nafsu orang lain
v  Tidak keluyuran di malam hari termasuk tempat clubbing dan hiburan malam lain
v  Langsung pulang ke rumah setelah sekolah atau kegiatan lain
v  Tidak melewati jalan sepi dan rawan kejahatan
v  Tinggal di tempat yang lingkungannya aman dan tentram
v  Tidak memberi kesempatan orang yang baru dikenal untuk macam-macam
v  Hindari diajak ke hotel, tempat sepi, rumah kosong, rumah, dll oleh laki-laki maupun wanita
v  Hindari pencari tenaga kerja wanita agar tidak diperdagangkan sebagai pelacur
v  Memakai pakaian yang sulit untuk dibuka oleh pemerkosa
v  Membawa senjata ringan seperti semprotan merica, pembius, sengat listrik, dsb
v  Hindari teman yang gaul tapi kelakuan bejat, pilih teman yang standar baik-baik saja
v  Curigai semua orang yang baru dikenal walaupun berwajah baby face
v  Belajar bela diri untuk menjaga diri
v  Tidak tebar pesona sembarangan ke orang lain
v  Selalu kabur diam-diam jika merasa ada sesuatu yang tidak beres
v  Melawan ketika terjadi pelecehan dan minta bantuan orang lain serta lapor ke polisi
v   Tidak makan dan minum sembarangan untuk menghindari pembiusan
v  Waspada semua orang di tempat bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat, salon plus, dsb.
v  Memberi pembekalan pada anak agar tidak menjadi target perkosaan
v  Waspadai orang dekat yang memberikan perhatian atau kebaikan lebih
E.   Upaya yang dilakukan ketika akan terjadi pemerkosaan
Apa yang harus dilakukan bila terjadi pemerkosaan?.Segera laporkan ke polisi. Di kepolisian korban akan diantar ke dokter untuk mendapatkan visum et repertum.Atau kalau terpaksa korban bisa datang ke rumah sakit terlebih dahulu agar dokter bisa memberikan surat keterangan.
Mintalah bantuan pihak rumah sakit atau dokter untuk menghubungi polisi, jangan membersihkan diri atau mandi karena sperma, serpihan kulit, ataupun rambut pelaku yang bisa dijadikan barang bukti akan hilang.
Sperma hanya hidup dalam waktu 2 x 24 jam. Simpan pakaian barang-barang lain yang kita pakai, ataupun kancing atau robekan baju pelaku karena barang-barang tersebut bisa dijadikan barang bukti. Serahkan barang-barang tersebut kepada polisi dalam keadaan asli (jangan dicuci atau diubah bentuknya). Apabila korban takut pergi sendiri ke kantor polisi ajaklah orangtua, saudara, atau teman untuk menemani.Yakinkan diri bahwa korban pemerkosaan bukanlah orang yang bersalah.
Pelaku pemerkosaanlah yang harus dihukum. Korban berhak untuk melaporkan pelaku agar bisa dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.Kita bisa menghubungi salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap masalah-masalah cewek. Mereka siap membantu korban yang baru saja mengalami pemerkosaan.
Dengan beberapa staf konselor yang terlatih, mereka akan memberikan dukungan psikologis dan penanganan medis. Mereka juga akan memberikan informasi tentang hak hukum korban, cara, dan prosedur pelaporan kepada polisi dan akan mendampingi dalam proses peradilan jika memang dikehendaki.

F.    Upaya Penanggulangan Pemerkosaan
Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah pemerkosaan  adalah sebagai berikut :
g.         Melakukan razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas peredaran VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
h.          Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan moral baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui mass media
i.  Pemerintah , LSM, masyarakat pers, memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi korban, pelaku maupun saksi serta mengoptimalkan rumah aman.
j.  Menanamkan sikap dan perilaku kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama masing-masing.
k.         Memberikan perhatian khusus bagi peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan melalui sektor penididikan, sehingga mereka memiliki ketahanan diri, mandiri dan mampu mengatasi setiap persoalan kehidupan.
l.        Masyarakat bersama pihak terkait lainnya harus pula melakukan kontrol dan membendung maraknya pornografi dan pornoaksi melalui media massa.
m.    Pemerintah, Organisasi Kewanitaan, Organisasi Kepemudaan, LSM, Penegak Hukum, Legislatif dan lainnya, memberikan pemahaman dan sadar hukum, khususnya yang berhubungan dengan tindak asusila kepada semua lapisan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.      Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu /pengetahuan tentang kejahatan.
2.      Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: “barangsiapa dengan kekerasanatau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lamadua belas tahun.
3.      Dampak yang ditimbulkan dari tindak kejahatan pemerkosaan ada dua yaitu dampak social dan psikologis
4.      Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah pemerkosaan  adalah sebagai berikut :
Ø  Melakukan razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas peredaran VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
Ø  Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan moral baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui mass media
Ø  Pemerintah , LSM, masyarakat pers, memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi korban, pelaku maupun saksi serta mengoptimalkan rumah aman.
Ø  Menanamkan sikap dan perilaku kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama masing-masing.
Ø  Memberikan perhatian khusus bagi peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan melalui sektor penididikan, sehingga mereka memiliki ketahanan diri, mandiri dan mampu mengatasi setiap persoalan kehidupan.
B.   SARAN
Dalam makalah ini penulis memeberikan saran sebagai berikut :
1.      Dalam menangani korban perkosaan Masyarakat seharusnya juga ikut mendukung para perempuan korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.
2.      Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal).
3.      Kita sebagai mahasiswa hukum tidak hanya mengejar gelar sarjana saja, tapi kita harus ikut andil menangani penanggulangan tindak pidana kejahatan perkosaan, sehingga berkurangnya tindak kejahatan perkosaan tersebut. Dan wanita Indonesia harus membudayakan untuk menutup aurat sehingga tidak terjadi kejahatan perkosaan, karena kejahatan perkosaan terjadi karena perempuan yang memancing laki-laki untuk melakukan perkosaan dengan memakai pakaian yang mengoda dan feminism.
C.   Kendala
Adapun kendala yang dialami tim penyusun kelompok 5 diantaranya :
1.      Kurangnya literatur buku, sehingga dalam proses menyelesaikan makalah ini didukung dengan literatur dari internet.
2.      Kurangnya intensitas pertemuan antar personil kelompok, sehingga dibutuhkan waktu yang agak lama dalam proses penyelesaian makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam Wacana Pers National, kerjasama PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.
Davison, G. C, and Neale, J. M. 1990. Abnormal Psychology. New York: John Wiley & Sons.
Harkrisnowo, H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia.Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2) Agustus 2000.
Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.
Ali, Chidir. Cakrawala baru kriminologi.Bandung : Tarsito, 1980.
A.W. Bonger.  Pengantar tentang kriminologi. Jakarta : PT Pembangunan, 1982.
Prof.Dr.H.Romli Atmasasmita,SH.,LL.M. 1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi (Edisi Revisi ).Bandung : PT Refika Aditama

No comments:

Post a Comment