BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), mengatur setiap tingkah laku warga
negaranya tidak terlepas dari segala
peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Negara hukum menghendaki
agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun
juga tanpa ada pengecualian. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Berkembangnya berbagai tindak
kejahatan yang dianggap sebagai suatu fenomena social. Kriminologi
adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai suatu fenomena sosial,termasuk
didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan
reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan
dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan
sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara
tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau
jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap
masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan
dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada
di masyarakat dan substansi di dalamnya
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai
tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar
kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi
kemasyarakatan.Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi
untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan
(penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta
dampak-dampaknya.Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi
kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai
dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu
kejahatan.Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif
seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh
yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam pembahasan mengenai asal-usul tingkah laku kriminal
dan dalam pertimbangan mengenai faktor mana yang memegang peran, utamanya di
antara faktor keturunan atau faktor lingkungan, kriminolog tersebut menarik
kesimpulan bahwa, kriminalitas manusia normal adalah akibat, baik dari faktor
keturunan maupun dari faktor lingkungan, dimana kadang-kadang dari faktor
keturunan dan kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang peran utama, dan di
mana kedua faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.
Secara garis besarnya, bahwa faktor keturunan dan faktor
lingkungan masing-masing bukan satu faktor saja melainkan suatu gabungan
faktor, dan bahwa gabungan faktor ini senantiasa saling mempengaruhi di dalam
interaksi sosial orang dengan lingkungannya.
Jadi, seorang manusia normal bukan ditentukan sejak lahir
untuk menjadi kriminal oleh faktor pembawaannya yang dalam saling berpengaruh
dengan lingkungannya menimbulkan tingkah laku kriminal, melainkan faktor-faktor
yang terlibat dengan iteraksi lingkungan sosial itulah yang memberikan
pengaruhnya bahwa ia betul-betul menjadi kriminal dalam pengaruh-pengaruh
lingkungan yang memudahkannya itu.
Seperti halnya mengenai delik kekerasan mengenai perkosaan, di
zaman kuno hingga akhir Abad Pertengahan,
pemerkosaan pada umumnya tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap seorang
gadis atau perempuan, melainkan lebih kepada pribadi sang laki-laki yang
"memilikinya". Jadi, hukuman atas pemerkosaan seringkali berupa
denda, yang harus dibayarkan kepada sang ayah
atau suami
yang mengalami "kerugian" karena "harta miliknya"
"dirusak". Posisi ini kemudian diubah di banyak lingkungan budaya
karena pandangan bahwa, seperti halnya sang "pemilik", si perempuan
itu sendiripun mestinya ikut mendapatkan ganti ruginya.Pemerkosaan dalam peperangan
juga dapat dilihat terjadi di zaman kuno sehingga disebutkan pula di dalam Alkitab,
misalnya di dalam kisah tentang kaum perempuan yang diculik sebagai hadiah
kemenangan.Tentara Yunani, Kekaisaran Persia
dan Kekaisaran
Romawi, secara rutin memperkosa kaum perempuan
maupun anak-anak lelaki di kota-kota yang ditaklukkan. Perilaku yang sama masih
terjadi bahkan hingga tahun 1990-an,
ketika pasukan-pasukan Serbia
yang menyerang Bosnia
dan Kosovo,
melakukan kampanye yang penuh perhitungan dengan memperkosa kaum perempuan dan
anak-anak lelaki di daerah-daerah yang mereka kuasai.Hal yang sama pun terjadi
di Indonesia.
Kabarnya di Timor Timur,
ketika masih menjadi bagian Indonesia, kaum perempuannya seringkali diperkosa
sebagai bagian dari perang psikologis untuk menekan semangat untuk berontak.
Demikian pula dalam Kerusuhan
Mei 1998, dilaporkan banyak kaum perempuan keturunan
Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh sebagai bagian
dari strategi untuk mengancam mereka.Pemerkosaan, sebagai strategi perang,
dilarang oleh hukum militeryang disusun oleh Richard II dan Henry
V (masing-masing tahun 1385
dan 1419).
Hukum-hukum ini merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi para
pemerkosa pada masa Perang
Seratus Tahun (1337-1453).Selama beberapa tahun terakhir ini
bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal
maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan
adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.Kondisi seperti
ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban
kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan
secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau
psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya
adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang
lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan
psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kasus perkosaan yang marak terjadi di
Indonesia , menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya menyangkut pelanggaran hukum
namun terkait pula dengan akibat yang akan dialami oleh korban dan timbulnya
rasa takut masyarakat secara luas. Akibat dari ini di Indonesia secara normatif
tidak mendapatkan perhatian selayaknya, hal ini disebabkan oleh karena hukum
pidana (KUHP) masih menempatkan kasus perkosaan ini sama dengan kejahatan
konvensional lainnya, yaitu berakhir sampai dengan dihukumnya pelaku. Kondisi
ini terjadi oleh karena KUHP masih mewarisi nilai-nilai pembalasan dalam KUHP.
Dari sudut pandang ini maka menghukum
pelaku menjadi tujuan utama dalam proses peradilan pidana, oleh karena itu
semua komponen dalam proses peradilan pidana mengarahkan perhatian dan segala
kemampuannya untuk menghukum si pelaku dengan harapan bahwa dengan dihukumnya
pelaku dapat mencegah terulangnya tindak pidana tersebut dan mencegah pelaku
lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama ini dan masyarakat merasa
tentram karena dilindungi oleh hukum, seperti yang ada dalam KUHP pada pasal 285 yaitu “Barang siapa yang dengan kekerasan atau
dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia,
karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas
tahun”
Adapun yang dimaksud dengan tindakan
perkosaan adalah tindakan yang melanggar hukum. Tindakan perkosaan tersebut
telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa tersebut. Seperti
yang sudah ada dalam KUHP Ancaman hukuman dalam pasal 285 ini ialah pria yang
memaksa wanita, dimana wanita tersebut bukan istrinya dan pria tersebut telah
bersetubuh dengan dia dengan ancaman atau perkosaan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas
apa yang dimaksud dengan tindak pidana perkosaan. Maka masyarakat harus bisa
berhati-hati dan lebih waspada terhadap tindak pidana perkosaan dan kasus
pemerkosaan menjadi masalah yang harus segera dibenahi di Indonesia agar tidak
merusak citra dan moral bangsa Indonesia. Maka dari itu penulis akan menyajikan
apa sebenarnya tindak pidana perkosaan, dampak dan pencegahannya pada makalah
ini dengan judul ’Tinjauan Kriminologi
Terhadap Tindak Pidana Perkosaan’.
B. Rumusan
Masalah
Adapun latar belakang yang
dipaparkan diatas dapat diambil rumusan masalah diantaranya :
1. Apakah pengertian kriminologi?
2. Apakah pengertian perkosaan, macam-macam
pemerkosaan dan faktor penyebab perkosaan ?
3. Bagaimana dampak perkosaan terhadap sosial
dan psikologis?
4. Bagaimana upaya mengatasi dan
mengurangi pemerkosaan?
5. Bagaimana upaya ketika akan
dilakukan pemerkosaan ?
6. Bagaimana upaya penganggulangan pemerkosaan
?
C.
Tujuan
Penulis
Adapun
rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan penulis diantaranya :
1.
Untuk mengetahui Pengertian kriminologi?
2. Untuk mengetahui pengertian perkosaan, macam-macam pemerkosaan
dan faktor penyebab perkosaan ?
3. Untuk mengetahui dampak perkosaan
terhadap sosial dan psikologis?
4. Untuk mengetahui upaya mengatasi dan mengurangi pemerkosaan?
5. Untuk mengetahui upaya ketikan akan
dilakukan pemerkosaan ?
6. Untuk mengetahui upaya
penganggulangan pemerkosaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kriminologi
1.
Pengertian Kriminologi
Kriminologi sebagai
ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara
etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang
berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu
/pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879)
digunakan oleh P. Topinard, ahli dari perancis dalam bidang antropologi,
sementara istilah yang sebelumnya banyak dipakai adalah antropologi criminal.
Ø Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social, termasuk
didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi
terhadap pelanggaran undang-undang.
Ø Bonger mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang kejahatan seluas-luasnya
2.
Sejarah perkembangan kriminologi.
a.
PERIODE MASA PRA 1830
Plato menyebut emas dan
manusia adalah penyebab adanya kejahatan, makin tinggi pandangan tentang
kekayaan oleh manusia makin merosot penghargaan kesusilaan. Sehingga apabila
dalam setiap negara banyak terdapat orang miskin maka akan terdapat
bajingan-bajingan, pemerkosa agama dan penjahat dari
Ø Plato
berbagai corak.
Mengatasinya Plato menyatakan bahwa adanya rasa komunal dalam suatu masyarakat,
anggotanya akan berbuat sama dalam hal kebaikan, sehingga yang miskin dan kaya
tidak akan ditemui ketakaburan, kezaliman dan rasa iri hati serta benci
(pandangan ‘utopi’)
Ø Aristoteles
Sedangkan Aristoteles
menyatakan kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, kejahatan
terbesar tidak diperbuat untuk hidup
b.
PERIODE MASA PRA 1830
tapi untuk kemewahan.
Bonger menyimpulkan uraian ahli tersebut berpengaruh dalam lapangan hukuman
yaitu hukuman dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar jangan
berbuat jahat
c. Masa sesudah 1830 s/d sekarang
Ø Masa 1830 sampai 1960
Disebut juga masa
kriminologi klasik atau Positivistis (Etiologi Kriminil) karena mengutamakan
pendekatan sebab musabab yaitu melihatnya dari diri penjahat untuk menuju
sasaran perbaikan atau penanggulangan kejahatan dengan didukung teori dari
berbagai disipli ilmu pengetahuan berpendapat bahwa kejahatan dilakukan oleh
orang/sekelompok orang karena kondisi yang ada padanya serta lingkungan
pergaulan yang mempengaruhinya, sehigga lahirlah aliran bioantropologis, aliran
lingkungan dan aliran kombinasi (multiple factor approach)
Sutherland (19120) melalui teori
sosiologi menyatakan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja bukan
monopoli orang atau sekelompok dalam kondisi tertentu. Disebabkankejahatan
adalah perilaku yang timbul melalui
Ø Masa sesudah 1830
proses belajar dalam
kehidupan sosial tertentu (seperti disorganisasi sosial, mobilitas sosial dan
konflik budaya) akan berpengaruh dalam mewarnai timbulnya kejahatan pada
masyarakat yang mengalami proses tersebut.
Ø Masa 1960-an sampai sekarang
Disebut juga masa
kriminologi kritis (Critical Criminology) dimana kejahatan merupakan suatu
konstruksi sosial yaitu pada waktu suatu masyarakat menetapkan sejumlah
perilaku dan orang dinyatakan sebagai pelaku/penjahatnya.
Kejahatan dan penjahat
bukanlah gejala yang secara bebas dan objektif dipelajari para ilmuwan tapi
ditentukan oleh masyarakat sehingga kejahatan dan penjahat tergantung waktu dan
tempat tertentu
3.
Aliran-aliran dalam kriminologi
Yang
dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan,
Paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat,
menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh
karena pemamahaman kita terhadap dunia social terutama dipengaruhi oleh cara
kita menafsirkan peristiwa-peristiwayang kita alami/lihat, sehingga juga bagi
para ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan dipengaruhi wujud penjelasan
maupun teori yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan
baik penjelasan-penjelasan dan teori-teori dalam kriminologi perlu diketahui
perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi.
Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai sesuatu sementara suatu penjelasan dipandang sebagai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan didalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi. Hal-hal yang dipercayai ( belief ) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai sesuatu sementara suatu penjelasan dipandang sebagai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan didalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi. Hal-hal yang dipercayai ( belief ) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Didalam
sejarah intelektual terhadap masalah “penjelasan” ini secara umum dapat
dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau
demonologik dan pendekatan naturalistic, yang kedua-duanya merupakan pendekatan
yang dikenal pada masa kuno maupun modern.
Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit ( roh). Unsur utama dalam penjelasan spiristik adalah sifatnya yang melampaui dunia empiric; dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari control atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas.
Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit ( roh). Unsur utama dalam penjelasan spiristik adalah sifatnya yang melampaui dunia empiric; dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari control atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas.
Pada pendekatan naturalistik penjelasan diberikan secara terperinci dengan melihat dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Secara garis besar pendekatan ini dibagi tiga bentuk sistem pemikiran atau bisa disebut sebagai paradigma yang digunakan sebagai kerangka untuk menjelaskan fenomena kejahatan, adapun ketiga paradigma/ aliran ini adalah aliran klasik, positivisme dan aliran kritis.
a.
Aliran Klasik
Aliran
ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan
ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia,
baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi mampu membawa
manusia untuk berbuat mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti lain ia adalah
penguasa dari dirinya sendiri. Ini adalah pokok pikiran aliran klasik dengan
dilandasi pemikiran yang demikian maka penjahat dilihat dari batasan-batasan
perundang-undangan yang ada.
Kejahatan dipandang sebagai
pelanggaran terhadap undang-undang hukum pidana, penjahat adalah setiap orang
yang melakukan kejahatan. Secara rasionalitas maka tanggapan masyarakat adalah
memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan.
Kriminologi disini sebagai alat untuk menguji sistem hukuman yang dapat
meminimalkan kejahatan.
b. Aliran Neoklasik
Salah
satu tokoh dalam aliran ini adalah Cesare Beccaria ( 1738 – 1794 ) merupakan tokoh
yang menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada saat itu. Dalam
bukunya Dei Delitti e delle pene secara gamblang dia menyebutkan
keberatan-kebaratannya atas hukum pidana.
Aliran ini melahirkan
aliran Neo-Klasik dengan ciri khas yang masih sama tetapi ada beberapa hal yang
diperbaharui antara lain adalah kondisi si pelaku dan lingkungan mulai
diperhatikan. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan Code De Penal secara kaku dimana
tidak memperhitungkan usia, kondisi mental si pelaku, aspek kesalahan. Semua
faktor tersebut tidak menjadi pertimbangan peringanan hukuman,
penjatuhan hukuman dipukul rata berdasarkan prinsip kesamaan hukum dan
kebebasan pribadi.
c. Aliran Positivisme
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan
bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor diluar kontrolnya, baik
yang berupa faktor biologi maupun kultural. Ini berarti manusia bukanlah mahluk
yang bebas untuk mengikuti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan
tetapi mahluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologinya dan situasi
kulturalnya. Manusia berubah bukan semata-mata akan intelegensianya akan tetapi
melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologinya atau evolusi
kultural. Aliran ini melahirkan dua pandangan yaitu Determinisme Biologik yang
menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan
perilakunya dipahami dan diterima sebagai pencerminan umum dari warisan
biologik. Sebaliknya Determinis Kultural menganggap bahwa perilaku manusia
dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio
kultural yang melingkupinya. Mereka berpendapat bahwa dunia kultural secara
relatif tidak tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang
satu tidak berarti akan segera membuat perubahan yang lainnya.
Salah satu pelopor aliran positivis ini adalah
Cesare Lombrosso (1835-1909) seorang dokter dari itali yang mendapat julukan
Bapak Kriminologi Modern lewat teorinya yang terkenal yaitu Born Criminal,
Lombrosso mulai meletakkan metodologi ilmiah dalam mencari kebenaran mengenai
kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.
Teori Born Criminal ini di ilhami oleh teori
evolusi dari darwin. Lombrosso membantah mengenai Free Will yang menjadi dasar
aliran klasik. Doktin Avatisme membuktikan bahwa manusia menuruni sifat hewani
dari nenek moyangnya. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dan menjadi sifat
jahat pada manusia modern.
Dalam perkembangan teorinya bahwa manusia
jahat dapat dilihat dari ciri-ciri fisiknya lewat penelitian terhadap 3000
tentara dan narapidana lewat rekam mediknya beberapa diantaranya telingan yang
tidak sesuai ukuran, dahi yang menonjol, hidung yang bengkok.
Pada dasarnya teori lombrosso ini membagi
penjahat dengan empat golongan, yaitu :
·
Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat
menjadi penjahat seperti paham avatisme
·
Insane Criminal yaitu orang termasuk dalam golongan orang idiot,
embisil,dan paranoid
·
Ocaccasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan
yang berdasarkan pada pengalaman yang terus menerus sehingga mempngaruhi
pribadinya.
·
Criminal of Passion yaitu orang yang melakukan kejahatan karena
cinta, marah atapun karena kehormatan.
d. aliran Kritis
Pemikiran Kritis lebih mengarhkan kepada proses manusia dalam
membangun dunianya dimana dia hidup. Menurut aliran ini tingkat kejahatan dan
ciri-ciri pelaku terutama ditentutakan oleh bagaimana undang-undang disusun dan
dijalankan. Sehubungan dengan itu maka tugas dari kriminologi adalah bagaimana
cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu.
Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara
pendekatan “interaksionis” dan “konflik”. Pendekatan interaksionis berusaha
untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu
didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu dengan cara mempelajari
“persepsi” makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka
juga mempelajari kejahatan oleh agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi
batasan sebagai penjahat, juga proses sosial yang dimiliki kelompok
bersangkutan dalam mendifinisikan seseorang sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum
dijelaskan dalam konsep “penyimpangan” ( deviance ) dan reaksi sosial.
Kejahatan dipandang sebagai bagian dari “penyimpangan sosial” dengan arti
tindakan yang bersangkutan “berbeda” dengan tindakan orang pada umumnya dan
terhadap tindakan menyimpang ini diberlakukan reaksi yang negatif dari masyarakat.
Menurut pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang
dimilikinya dalam perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan
bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam mendifinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai
kebalikan dari kekuasaan; semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok
orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga
sebaliknya.
Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi
sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari
perilaku kolektif.Dalam pandangan teori ini bahwa manusia secara terus menerus
berlaku uintuk terlibat dalam kelompoknya dengan arti lain hidupnya merupakan
bagian dan produk dari kumpulan kumpulan kelompoknya. Kelompok selalu mengawasi
dan berusaha untuk menyeimbangkan perilaku individu-individunya sehingga
menjadi suatu perilaku yang kolektif.
4.
Tipe-tipe penjahat
v Menurut Bonger
Bonger membagi jenis-jenis penjahat melalui motivasi melakukan
kejahata yaitu:
c.
Kejahatan Ekonomi
d. Kejahatan Kekerasan
e.
Kejahatan Seks
f.
Kejahatan politik
B. Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latinrapere yang
berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada
jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri.
Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan
oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar
menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997). Pendapat ini
senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center,
bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan
seksual.
Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi
segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks,
anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.Perkosaan
juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).Menurut Warshaw (1994)
definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya
serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk
melakukan penetrasi vagina terhadap korban.Penetrasi oleh pelaku tersebut
dilakukan dengan melawan keinginan korban.Tindakan tersebut dilakukan dengan
adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat
memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental.Beberapa negara
menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam
definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang
sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285
KUHP disebutkan bahwa:
“barangsiapa dengan kekerasanatau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di
luarperkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lamadua belas tahun”.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi
perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan
Widiartana 2001), makna perkosaan dapatdiartikan ke dalam tiga bentuk:
1.
Perkosaan
adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya.
Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang
dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2.
Perkosaan
adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita
yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang
bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu
meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita,
dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3.
Perkosaan
adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap
seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita
tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama
dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
Pada
kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah
perempuan.Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban
perkosaan.Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak
menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak
dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan
hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tub
uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada
kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral
maupun anal.
v Macam-macam pemerkosaan dan faktor
penyebab pemerkosaan
Ø Macam-macam
Pemerkosaan
1.
Pemerkosaan saat berkencan
Pemerkosaan saat berkencan adalah
hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara orang-orang yang sudah
kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan
pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban.
2. Pemerkosaan dengan obat
Banyak obat-obatan digunakan oleh
pemerkosa untuk membuat korbannya tidak sadar atau kehilangan ingatan.
3. Pemerkosaan wanita
Walaupun jumlah tepat korban
pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6 wanita di AS adalah
korban serangan seksual.Banyak wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan,
sehingga tidak melaporkan pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku
tidak bisa menahan hasrat seksualnya melihat tubuh wanita
4. pemerkosaan massal
Pemerkosaan massal terjadi bila
sekelompok orang menyerang satu korban.Antara 10% sampai 20% pemerkosaan
melibatkan lebih dari 1 penyerang.Di beberapa negara, pemerkosaan massal
diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang.
5. Pemerkosaan terhadap laki-laki
Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki
adalah korban pelecehan seksual.Di banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai
suatu kemungkinan.Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh
memperkosa
6. Pemerkosaan anak-anak
Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap
hubungan sumbang bila dilakukan oleh kerabat dekat, misalnya orangtua, paman,
bibi, kakek, atau nenek.Diperkirakan 40 juta orang dewasa di AS, di antaranya
15 juta laki-laki, adalah korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.
7. Pemerkosaan dalam perang
Dalam perang, pemerkosaan sering
digunakan untuk mempermalukan musuh dan menurunkan semangat juang
mereka.Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan
pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil.
Ø Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan
Faktor penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan ditinjau
dari motif pelaku dalam melakukan perbuatan perkosaan dapat dibagi atas:
1)
Seductive rape
Pemerkosaan yang terjadi karena pelaku
merasa terangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subyektif.Biasanya tipe
pemerkosaan seperti ini terjadi justru di antara mereka yang sudah saling
mengenal, misalnya pemerkosaan oleh pacar, teman, atau orang-orang terdekat
lainnya.Faktor pergaulan atau interaksi sosial sangat berpengaruh pada
terjadinya pemerkosaan.
2)
Sadistic rape
Pemerkosaan yang dilakukan secara
sadis.Dalam hal ini pelaku mendapat kepuasan seksual bukan karena bersetubuh,
melainkan karena perbuatan kekerasan yang dilakukan terhadap tubuh perempuan,
terutama pada organ genetalianya.
3)
Anger rape
Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan
kemarahan pelaku.Perkosaan jenis ini biasanya disertai tindakan brutal secara
fisik.Kepuasan seks bukan merupakan tujuan utama dari pelaku, melainkan
melampiaskan rasa marahnya.
4)
Domination rape
Dalam hal ini pelaku ingin menunjukkan
dominasinya pada korban. Kekerasan fisik bukan merupakan tujuan utama dari
pelaku, karena ia hanya ingin menguasai korban secara seksual. Dengan demikian
pelaku dapat membuktikan pada dirinya bahwa ia berkuasa atas orang-orang
tertentu, misalnya korban perkosaan oleh majikan terhadap pembantunya.
5)
Exploitation rape.
Perkosaan jenis ini dapat terjadi karena
ketergantungan korban pada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial.Dalam hal
ini tanpa menggunakan kekerasan fisikpun pelaku dapat memaksakan keinginannya
pada korban.Misalnya, perkosaan oleh majikan terhadap buruhnya.Meskipun ada
persetujuan, hal itu bukan karena ada keinginan seksual dari korban, melainkan
ada ketakutan apabila dipecat dari pekerjaannya (Suryono, 2001: 185).
Tindak pidana perkosaan itu tidak terjadi
begitu saja tanpa ada pemicunya.Seseorang yang melakukan tindak pidana
perkosaan dapat saja mempunyai niat secara tiba-tiba.Niat yang secara tiba-tiba
tersebut bisa dilihat dari faktor situasi dan kesempatan.Faktor situasi dan
kesempatan tersebut meliputi keadaan sekitar yang sepi dan hanya ada korban,
atau bahkan sebelumnya pelaku telah melihat gambar-gambar porno atau menonton
film-film porno sehingga lebih meningkatkan gairah seksualnya.
Perkosaan bisa terjadi pada siapapun,
termasuk wanita yang mengenakan jilbab dan berpakaian serba tertutup, atau
wanita yang telah memiliki sejumlah anak, wanita mengandung, atau bahkan
anak-anak. Namun demikian, cara berpakaian minim memang cenderung memperkokoh
cara pandang tentang wanita sebagai objek seks, sedangkan perkosaan sendiri
lazim terjadi dalam masyarakat yang memandang wanita sebagai pihak yang
memiliki derajat rendah serta memiliki fungsi sebagai pemuas nafsu seks pria.
C. Dampak Sosial dan Dampak
Psikologisnya
v Dampak
Sosial
Korban
perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun
secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban
antara lain:
1. kerusakan organ tubuh seperti robeknya
selaput dara, pingsan, meninggal;
2. korban sangat mungkin terkena
penyakit menular seksual (PMS);
3. kehamilan tidak dikehendaki.
Perkosaan
sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik
secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi
perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya
dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari
pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak
wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku
seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk
mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan
suatu hal yang membuat shock bagi korban.Goncangan kejiwaan dapat dialami pada
saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan
reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995).Secara umum peristiwa tersebut dapat
menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan
suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati,
2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri,
menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya
v Dampak Psikologis
Upaya
korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering
tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi
buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu
yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan
orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya
kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma
psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat
untuk bunuh diri.
Korban
perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka
panjang.Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti
kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak
berdaya.Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang
dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya
diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi
somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan.Stres jangka panjang
yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post
Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997).
Menurut
Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu
terkadang naik turun atau labil.Hal ini disebabkan karena adanya tekanan
kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada
peristiwa traumatis yang dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD
merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok
simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang
terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian
traumatik.Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan
peristiwa traumatis.Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang simptom yang
sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun
rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya
sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus,
tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap
individu terkadang tidak stabil.Hal ini disebabkan karena adanya tekanan
kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada
peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan
mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu
hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa
menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan
suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati,
2000). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD
adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari
akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.
Dampak
jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari
setelahkejadian.Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti
misalnya ada gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara,
dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh
akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.Dari segi psikologis biasanya korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina.Gangguan emosi
ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia),
kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini
berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala
yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa
tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati,
2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari
masalah yang dihadapinya.Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini
terjadi karena manusia memiliki insting insting mati. Selain itu kecemasan yang
dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari
rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma
masyarakat.
Terkadang
korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa
perkosaan yang dialami tersebut.Dalam kondisi seperti ini perasaan korban
sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa
bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa
mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka
alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau
dialami oleh korban akan semakin kompleks.
Tanda-tanda
PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi
menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison
dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah:
1. sedih, suasana hati depres;
2. kurangnya nafsu makan dan berat
badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan;
3. kesukaran tidur (insomnia):
tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada
tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk
tidur terus-menerus;
4. perubahan tingkat aktivitas;
5. hilangnya minat dan kesenangan dalam aktivtas yang biasa
dilakukan;
6. kehilangan energi dan merasa sangat
lelah;
7. konsep diri negatif; menyalahkan
diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah;
8. sukar berkonsentrasi, seperti lamban
dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu;
9. sering berpikir tentang bunuh diri
atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami
oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku
adalah orang asing.
Hal
tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas.
Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat
juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga
korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang
khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi,
takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan
diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam
waktu dan intensitas yang berbeda beda.
Korban
dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas
dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena
sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah
peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi
ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban
akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil,
nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat
mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara
medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang
dialaminya.
D. Upaya
Mengatasi dan
Mengurangi Pemerkosaan
Berikut ini adalah cara mencegah dan mengurangi resiko diperkosa
:
v Tidak berdandan
dan berpakaian yang mengundang nafsu orang lain
v Tidak keluyuran
di malam hari termasuk tempat clubbing dan hiburan malam lain
v Langsung pulang
ke rumah setelah sekolah atau kegiatan lain
v Tidak melewati
jalan sepi dan rawan kejahatan
v Tinggal di
tempat yang lingkungannya aman dan tentram
v Tidak memberi
kesempatan orang yang baru dikenal untuk macam-macam
v Hindari diajak
ke hotel, tempat sepi, rumah kosong, rumah, dll oleh laki-laki maupun wanita
v Hindari pencari
tenaga kerja wanita agar tidak diperdagangkan sebagai pelacur
v Memakai pakaian
yang sulit untuk dibuka oleh pemerkosa
v Membawa senjata
ringan seperti semprotan merica, pembius, sengat listrik, dsb
v Hindari teman
yang gaul tapi kelakuan bejat, pilih teman yang standar baik-baik saja
v Curigai semua
orang yang baru dikenal walaupun berwajah baby face
v Belajar bela
diri untuk menjaga diri
v Tidak tebar
pesona sembarangan ke orang lain
v Selalu kabur
diam-diam jika merasa ada sesuatu yang tidak beres
v Melawan ketika
terjadi pelecehan dan minta bantuan orang lain serta lapor ke polisi
v Tidak makan dan minum sembarangan untuk
menghindari pembiusan
v Waspada semua
orang di tempat bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat, salon plus, dsb.
v Memberi
pembekalan pada anak agar tidak menjadi target perkosaan
v Waspadai orang
dekat yang memberikan perhatian atau kebaikan lebih
E.
Upaya
yang dilakukan ketika akan terjadi pemerkosaan
Apa yang harus dilakukan bila terjadi
pemerkosaan?.Segera laporkan
ke polisi. Di kepolisian korban akan diantar ke dokter untuk mendapatkan visum
et repertum.Atau kalau terpaksa korban bisa datang ke rumah sakit terlebih
dahulu agar dokter bisa memberikan surat keterangan.
Mintalah bantuan pihak rumah sakit atau
dokter untuk menghubungi polisi, jangan membersihkan diri atau mandi karena
sperma, serpihan kulit, ataupun rambut pelaku yang bisa dijadikan barang bukti
akan hilang.
Sperma hanya hidup dalam waktu 2 x 24
jam. Simpan pakaian barang-barang lain yang kita pakai, ataupun kancing atau
robekan baju pelaku karena barang-barang tersebut bisa dijadikan barang bukti.
Serahkan barang-barang tersebut kepada polisi dalam keadaan asli (jangan dicuci
atau diubah bentuknya). Apabila korban takut pergi sendiri ke kantor polisi
ajaklah orangtua, saudara, atau teman untuk menemani.Yakinkan diri bahwa korban
pemerkosaan bukanlah orang yang bersalah.
Pelaku pemerkosaanlah yang harus
dihukum. Korban berhak untuk melaporkan pelaku agar bisa dihukum sesuai dengan
kejahatan yang dilakukannya.Kita bisa menghubungi salah satu lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang peduli terhadap masalah-masalah cewek. Mereka siap
membantu korban yang baru saja mengalami pemerkosaan.
Dengan beberapa staf konselor yang
terlatih, mereka akan memberikan dukungan psikologis dan penanganan medis.
Mereka juga akan memberikan informasi tentang hak hukum korban, cara, dan
prosedur pelaporan kepada polisi dan akan mendampingi dalam proses peradilan
jika memang dikehendaki.
F. Upaya Penanggulangan Pemerkosaan
Upaya-upaya
yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah pemerkosaan adalah
sebagai berikut :
g.
Melakukan
razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas peredaran
VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
h.
Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan
moral baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui
mass media
i. Pemerintah , LSM, masyarakat pers,
memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi korban, pelaku maupun saksi serta
mengoptimalkan rumah aman.
j. Menanamkan sikap dan perilaku
kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai
moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama masing-masing.
k.
Memberikan perhatian khusus bagi
peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan melalui sektor penididikan,
sehingga mereka memiliki ketahanan diri, mandiri dan mampu mengatasi setiap
persoalan kehidupan.
l.
Masyarakat bersama pihak terkait
lainnya harus pula melakukan kontrol dan membendung maraknya pornografi dan
pornoaksi melalui media massa.
m. Pemerintah, Organisasi
Kewanitaan, Organisasi Kepemudaan, LSM, Penegak Hukum, Legislatif dan lainnya,
memberikan pemahaman dan sadar hukum, khususnya yang berhubungan dengan tindak
asusila kepada semua lapisan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan penegakan
hukum sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara
etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang
berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu
/pengetahuan tentang kejahatan.
2.
Di
dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: “barangsiapa dengan kekerasanatau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luarperkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lamadua belas
tahun.
3.
Dampak yang ditimbulkan dari tindak kejahatan
pemerkosaan ada dua yaitu dampak social dan psikologis
4.
Upaya-upaya
yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah pemerkosaan adalah
sebagai berikut :
Ø Melakukan razia dan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas peredaran VCD ,majalah, poster,
internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
Ø Melakukan pembinaan mental spritual
yang mengarah pada pembentukan moral baik bagi pelaku, korban maupun
masyarakat, secara langsung dan melalui mass media
Ø Pemerintah , LSM, masyarakat pers,
memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi korban, pelaku maupun saksi serta
mengoptimalkan rumah aman.
Ø Menanamkan sikap dan perilaku
kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai
moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama masing-masing.
Ø Memberikan
perhatian khusus bagi peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan melalui
sektor penididikan, sehingga mereka memiliki ketahanan diri, mandiri dan mampu
mengatasi setiap persoalan kehidupan.
B. SARAN
Dalam makalah ini penulis
memeberikan saran sebagai berikut :
1. Dalam menangani korban perkosaan
Masyarakat seharusnya juga ikut mendukung para perempuan korban kekerasan
(perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia
menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh
rasa kemanusiaan.
2. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim) dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban
perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus
perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan
Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal).
3. Kita sebagai mahasiswa hukum tidak
hanya mengejar gelar sarjana saja, tapi kita harus ikut andil menangani
penanggulangan tindak pidana kejahatan perkosaan, sehingga berkurangnya tindak
kejahatan perkosaan tersebut. Dan wanita Indonesia harus membudayakan untuk
menutup aurat sehingga tidak terjadi kejahatan perkosaan, karena kejahatan
perkosaan terjadi karena perempuan yang memancing laki-laki untuk melakukan
perkosaan dengan memakai pakaian yang mengoda dan feminism.
C.
Kendala
Adapun
kendala yang dialami tim penyusun kelompok 5 diantaranya :
1. Kurangnya
literatur buku, sehingga dalam proses menyelesaikan makalah ini didukung dengan
literatur dari internet.
2. Kurangnya
intensitas pertemuan antar personil kelompok, sehingga dibutuhkan waktu yang
agak lama dalam proses penyelesaian makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abar, A. Z & Tulus Subardjono.
1998. Perkosaan dalam Wacana Pers
National, kerjasama PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.
Davison, G. C, and Neale, J. M.
1990. Abnormal Psychology. New York:
John Wiley & Sons.
Harkrisnowo, H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan
Terhadap Perempuan Indonesia.Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2)
Agustus 2000.
Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak
Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas
Gadjah Mada.
Ali, Chidir. Cakrawala baru kriminologi.Bandung : Tarsito, 1980.
Prof.Dr.H.Romli
Atmasasmita,SH.,LL.M. 1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi (Edisi Revisi
).Bandung : PT Refika Aditama
No comments:
Post a Comment